Anggota, Wewenang, Hak, Fungsi, Tugas Dan Pengertian MPR Menurut Para Ahli
PENGERTIAN MPR MENURUT PARA AHLI
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) ialah forum legislatif yang merupakan salah satu forum tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum reformasi, MPR merupakan forum tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat Indonesia. MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia sebab terdiri atas seluruh anggota Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.
Setelah reformasi tiba, MPR bukan lagi forum tertinggi negara sebab MPR sendiri telah melepas kewenangan yang ada pada dirinya dengan melaksanakan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. MPR ketika ini terdiri atas seluruh anggota dewan perwakilan rakyat dan seluruh anggota DPD. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara
Konsep forum MPR sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan forum ini sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dengan kedudukannya sebagai satu-satunya forum yang melaksanakan kedaulatan rakyat dengan kewenangannya tidak terbatas menyebabkan timbulnya banyak sekali macam kelemahan. Sistem supremasi MPR yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 telah menempatkan MPR dalam kekuasaan yang sentral membawahi forum negara lainnya.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, eksistensi MPR dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Konstruksi ini pertanda bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan forum tersebut sentral kekuasan yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Adanya satu forum yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi bahwa seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya, konsep kontrol dan keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara (checks and balances system) antar forum tinggi negara tidak mampu dijalankan.
FUNGSI MPR
a. Fungsi Konstitusi
Fungsi ini tercermin dari peran dan wewenang MPR untuk mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat 1). Hal ini bertujuan untuk mengakomodir kehendak rakyat yang mungkin akan muncul sewaktu-waktu sesuai perkembangan zaman.
b. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan tercermin dari peran dan wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatanya berdasarkan UUD.
c. Fungsi Perwakilan (fungsi electoral)
Fungsi perwakilan juga disebut fungsi electoral, sebab MPR bertugas dan berwenang menentukan pejabat publik ialah Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun MPR masih tetap memiliki fungsi electoral ini tidak berarti membawa konsekuensi Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, sebab fungsi ini sifatnya tidak rutin hanya berlaku jikalau terjadi kekosongan Presiden dan Wakil Presiden.
Susunan keanggotaannya yang dianggap telah mencerminkan penjelmaan dari seluruh rakyatpun juga ikut menimbulkan persoalan. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili (penjelmaan seluruh rakyat) telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde usang (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden.
Tidak jauh berbeda pula pada masa orde gres (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut pertanda bahwa pada masa-masa itu MPR seolah-olah hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk menentukan dan mengangkat Presiden dan/ atau Wapres berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai bunyi di MPR maka akan mampu mempertahankan kekuasaannya.
Perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, membawa implikasi terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahannya ialah menyangkut tubuh perwakilan rakyat. Untuk menjamin terealisasi sistem checks and balances, maka pembagian kekusaan dilakukan secara horizontal tidak secara vertikal. Sehingga kedudukan MPR sehabis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diubah dari forum tertinggi negara menjadi forum negara yang sejajar dengan alat kelengkapan negara lainnya. Dengan perubahan ini MPR tidak lagi mempunyai kedudukan yang langsung sebagai satu-satunya instansi pelaksana kedaulatan rakyat. Kedudukan yang demikian telah mengurangi wewenang MPR atau setidaknya mengubah subtansi dari fungsi MPR.
a. Kedudukan MPR Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Rumusan Pasal 1 ayat (2) naskah orisinil Undang-Undang Dasar 1945 menyampaikan bahwa: “Kedaulatan ialah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat”, namun sehabis reformasi dan dilakukan Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) ini rumusannya berubah menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Dasar”, ini berarti rumusan pasal tersebut telah mengubah kedudukan MPR yang semula merupakan Lembaga Tertinggi Negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi Lembaga Tinggi Negara atau lazim disebut sebagai Lembaga Negara saja.
Kedudukan MPR sehabis perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ialah sebagai Lembaga negara sejajar dengan Lembaga Negara lainnya, tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara. MPR yang kini bukan lagi sebagai satu-satunya forum yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga Negara yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat, alasannya ialah lembaga-lembaga itu juga langsung dipilih oleh rakyat (Presiden, PDR, dan DPD).
Perubahan kedudukan MPR yang semula sebagai Lembaga Tinggi Negara menjadi Lembaga Negara yang sejajar dengan Lembaga Negara lainnya (Presiden, DPR, DPD, MA dsb.) merupakan penegasan bahwa Negara Indonesia tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power), namun pemisahan kekuasaan (seperation of power).
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power), berarti dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar forum negara (checks and balances). Dengan prinsip checks and balances, maka antar forum negara mampu saling mengawasi dan mempunyai relasi yang bersifat horizontal.
b. Susunan keanggotaan Lembaga MPR Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Setelah adanya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, susunan keanggotaan MPR pun juga ikut berubah. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan susunan keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, berdasarkan aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Susunan yang demikian itu, dimaksudkan semoga seluruh rakyat, seluruh golongan dan seluruh tempat akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul mampu dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Susunan keanggotaan Majelis sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu terdiri dari tiga macam perwakilan, yaitu: perwakilan politik (political representation), perwakilan tempat (regional representation), dan perwakilan fungsional (fungtional representation).
Pasal 2 ayat (1) yang mengatur mengenai susunan keanggotaan MPR tersebut, sehabis Perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945 diubah menjadi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dari rumusan pasal ini mampu dilihat bahwa susunan keanggotaan MPR sehabis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari dua unsur saja, yaitu:
a) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan
b) Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Ini berarti sistem perwakilan yang terkandung dalam susunan keanggotaan MPR itu juga hanya ada dua, yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai perwakilan tempat (regional representation).
Menurut Bagir Manan susunan keanggotaan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan sistem perwakilan dua kamar (bicameral). MPR menjadi wadah tubuh perwakilan yang terdiri atas dewan perwakilan rakyat dan DPD. Tetapi dari susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota dewan perwakilan rakyat dan DPD tidak tergambar konsep dua kamar.
Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi tubuh yaitu dewan perwakilan rakyat dan DPD. Seperti Congress Amerika Serikat yang terdiri dari Senate dan House of Representatives. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR ialah tubuh yang bangkit sendiri di luar dewan perwakilan rakyat dan DPD. Hal yang demikian makin nampak bahwa pembaharuan sistem tubuh perwakilan tidak sejalan dengan gagasan sistem dua kamar (Bagir Manan. 2003: 7).
Hal lain yang memperkuat bahwa MPR merupakan tubuh perwakilan yang bangkit sendiri di luar dewan perwakilan rakyat maupun DPD ialah MPR itu mempunyai peran dan kewenangan sendiri yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar meskipun sifatnya tidak rutin. Alat kelengkapan MPR yang terpisah dari dewan perwakilan rakyat dan DPD juga merupakan bukti yang memperkuat bahwa MPR itu merupakan sebuah forum perwakilan yang tersendiri.
MPR sebagai lembaga/badan yang bangkit sendiri di luar dewan perwakilan rakyat dan DPD, yang mempunyai kedudukan sejajar dengan kedua forum perwakilan itu, tidak mampu dikatakan sebagai wadah dari kedua forum tersebut. Indonesia dengan mempunyai tiga macam forum perwakilan itu, maka sistem forum perwakilan yang dianut ialah sistem threecameral bukan bicameral. Dengan begitu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) sistem forum perwakilan yang dianut ialah sistem threecameral dan ketiga macam tubuh perwakilan tersebut, yaitu MPR, DPR, dan DPD.
c. Tugas dan wewenang MPR Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Salah satu alasan perlunya diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ialah alasannya ialah kekuasaan tertinggi itu di tangan MPR dan adanya kekuasaan yang sangat besar pada Presiden sehingga prinsip checks and balances tidak mampu dijalankan. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu diantara mempunyai tujuan untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat dan penegasan pembagian kekuasaan pemerintahan.
Untuk menjamin terlaksananya kedaualatan itu, maka Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil Perubahan) mengatur pemilihan Prsiden secara langsung dan menegaskan pembagian kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar ini dengan sistem pemisahan kekuasaan (seperation of power), bukan lagi dengan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power).
Hal itu dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya prinsip checks and balances sehingga antar forum negara itu mempunyai kedudukan yang seimbang dan mampu saling mengawasi sehingga kedudukan lembaga-lembaga negara itu saling berpengaruh (terutama MPR dan Presiden).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sistem supremasi MPR sudah tidak ada lagi. Sedangkan mengenai pemilihan Presiden secara langsung yang diatur dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu berimplikasi terhadap peran dan wewenang MPR. Tugas dan wewenang MPR dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) diatur dalam Pasal 3 yang berbunyi:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan memutuskan UndangUndang Dasar.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya mampu memberhentikan Presiden dan/ atau Wapres dalam masa jabatannya berdasarkan UndangUndang Dasar.
Selain itu peran dan wewenang MPR juga diatur Pada pasal 8 ayat (2) dan ayat (3). Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya Dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk menentukan Wapres dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
(2) Jika Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana peran kepresidenan ialah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama. Selambat-lambatnya tigapuluh hari sehabis itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk menentukan Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, hingga simpulan masa jabatannya.
Dari pasal 3 dan pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) tersebut mampu dilihat secara terperinci peran dan wewenang MPR yang meliputi:
a) Mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1));
b) Melantik Presiden dan/atauWakil Presiden (pasal 3 ayat (2));
c) Memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatanya berdasarkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (3));
d) Memilih Wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wapres (pasal 8 ayat (2));
e) Memilih Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya hingga berakhir masa jabatanya, kalau Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatanya secara bersamaan (pasal 8 ayat (3)).
Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) MPR tidak lagi memutuskan garis-garis besar haluan negara dan tidak berwenang menentukan dan mengangkat presiden. Hubungan MPR terhadap Presiden dan kaitannya pemilihan hanya sebatas mempunyai wewenang untuk melantik Presiden dan Wapres yang dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan pembatalan wewenang MPR memutuskan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu sejalan dengan perubahan sistem relasi antara MPR dengan Presiden. Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), yang meniadakan relasi tanggung jawab Presiden kepada MPR. Dengan begitu GBHN sebagai pengukur pertanggungjawaban Presiden tidak diharapkan lagi.
MPR Dapat Mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar
Wewenang MPR untuk mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar ini diatur secara lebih tegas, alasannya ialah sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 wewenang untuk mengubah Undang-Undang Dasar dasar itu diatur secara implisit yang diinterprestasikan dari pasal 3 perihal wewenang memutuskan Undang-Undang Dasar dan pasal 37 perihal prosedur perubahan UUD.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) wewenang MPR untuk mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar dirumuskan dalam satu ayat, yaitu pasal 3 ayat (1). Perumusan mengenai wewenang MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 itu dimaksudkan untuk memperlihatkan fungsi konstitusi yang penuh kepada forum ini.
Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan memutuskan UndangUndang Dasar”. Rumusan yang demikian, mempunyai makna bahwa wewenang untuk memutuskan Undang-Undang Dasar merupakan tindakan yuridis sebagai tindak lanjut sehabis dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Wewenang memutuskan Undang-Undang Dasar ini hanya mempunyai makna tunggal yaitu merupakan tindak lanjut dari wewenang mengubah, tidak lagi mempunyai makna memutuskan Undang-Undang Dasar dasar untuk mengatasi sifat kesementaraannya.
Sebagai konsekuensi wewenang mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, maka dalam Undang-Undang Dasar ini juga diatur mengenai prosedur perubahan terhadap UUD. Mekanisme perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 diatur dalam Pasal 37. Adapun prosedur yang diatur dalam pasal 37 ialah sebagai berikut:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar mampu diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan terperinci bab yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mampu dilakukan perubahan.
Dari mekainsme yang diatur dalam pasal 37 tersebut mampu dilihat bahwa Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 juga mempunyai sifat yang flexible alasannya ialah mampu diubah oleh MPR, tidak harus dengan referendum. Prosedur perubahannya pun tidak begitu sulit, hanya harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh MPR dan harus disetujui sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota MPR. Namun, saja ada beberapa hal yang secara tegas tidak mampu dilakukan perubahan, yaitu terhadap pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan terhadap bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar kaidah aturan yang mendasar memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengandung staatsidee (ideologi) berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kalau pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu diubah, berarti sama hal membubarkan Negara Indonesia. Sedangkan mengenai bentuk negara kesatuan yang tidak mampu dilakukan perubahan, alasannya ialah hal itu sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia untuk hidup bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ad. b) Melantik Presiden dan/ atauWakil Presiden
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (hasil perubahan) Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A). Sehingga wewenang MPR untuk menentukan dan mengangkat Presiden dan/atau Wapres sudah tidak ada lagi. Karena dipilih secara langsung oleh rakyat, maka Presiden juga tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Sejalan dengan itu, maka wewenang MPR untuk memutuskan GBHN sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada MPR juga telah dihapus.
Penghapusan terhadap wewenang MPR untuk memutuskan GBHN sebagai materi pengukur pertanggungjawaban Presiden, terkait dengan sistem relasi antara Presiden dengan MPR, dimana Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, merupakan suatu langkah untuk menegaskan sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yaitu sistem Presidensiil. Presiden yang harus tunduk dan betanggung jawab kepada MPR (parlemen) merupakan salah satu ciri dalam sistem parlemen, yang hal ini pertanda kedudukan direktur lebih lemah dari pada parlemen, padahal dalam sistem presidensiil itu kedudukan direktur dan legislatif itu harus sama-sama kuat.
Di satu sisi Presiden selain sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan merupakan satu ciri dalam sistem pemerintahan presidensiil, sehingga dalam keadaan yang demikian tidak mampu dikatakan Indonesia itu menganut sistem pemerintahan presidensiil, akan tetapi dikatakan sebagai sistem presidensiil yang semu/tidak murni (quasi presidensiil) atau juga mampu disebut “quasi parlementer” dan adapula yang menyampaikan sistem supremasi MPR. Namun sehabis Peubahan Undang-Undang Dasar 1945 sistem pemerintahan presidensiil itu dianut secara murni atau utuh, alasannya ialah Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga ia tidak lagi tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, akan tetapi betanggung jawab langsung kepada pemilihnya yaitu rakyat.
Hubungan antara Presiden dan/atau Wapres dengan MPR yang masih ada ialah hanya sebatas bahwa Presiden dan/atau Wapres terpilih itu sebelum memangku jabatannya bersumpah berdasarkan agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 9 ayat (1)). Lebih lanjut Pasal 9 ayat (2) mengatur dalam hal MPR dan dewan perwakilan rakyat tidak sedang bersidang, Presiden dan/ atau Wapres terpilih bersumpah atau berjanji dihadapan Pimpinan MPR disaksikan pimpinan Mahkamah Agung. Dalam hal ini berarti MPR menjalankan fungsi perwakilan, yaitu menjadi wakil seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi saksi sekaligus mengambil sumpah dan akad Presiden dan Wapres terpilih bahwa ia akan memenuhi kewajibannya sesuai Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang serta peraturannya dengan selurus-lurusnya.
Ad. c) Memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatanya berdasarkan UUD
Meskipun wewenang MPR untuk memutuskan GBHN sebagai suatu materi untuk menilai kebijakan yang ditempuh pemerintah , yang dari wewenang itu juga muncul wewenang lain yaitu mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan/atau Wapres apabila Majelis dalam Sidang spesial MPR yang diminta DPR, menilai bahwa Presiden dengan sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan/atau Undang-Undang Dasar 1945 itu sudah tidak ada lagi. Namun dalam keadaan tertentu Majelis juga masih mempunyai wewenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatanya berdasarkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (3)). Ketentuan itu sejalan dengan Pasal 7A yang menyatakan:
“Presiden dan/atau Wapres mampu diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Jadi apabila Presiden dan/atau Wapres terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka MPR mempunyai wewenang untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wapres atas usul DPR.
Wewenang ini merupakan suatu tindak lanjut dari fungsi pengawasan yang dipegang oleh DPR. Sehingga secara langsung MPR juga melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu berhak mengambil tindakan faktual untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dari jabatannya sebagai konsekuensi pelanggaran yang dilakukannya.
Mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres secara konstitusional diatur dalam pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang mampu dijabarkan sebagai berikut:
a. Menurut Pasal 7A ayat (1) Presiden dan/atau Wapres mampu diberhentikan apabila terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. Kemudian berdasarkan Pasal 7B ayat (3) kalau ingin memberhentikan Presiden dan/atau Wapres maka dewan perwakilan rakyat harus bersidang yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari semua anggota dewan perwakilan rakyat dan sekurang-kurangnya 2/3 yang hadir menyetujuinya. (proses politik)
c. Selanjutnya kesimpulan dewan perwakilan rakyat itu disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat dewan perwakilan rakyat tersebut paling usang 90 hari sehabis undangan dewan perwakilan rakyat itu diterima Mahkamah Konstitusi (Pasal 7B ayat (4)). (proses hukum)
d. Jika Mahkmah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wapres benar-benar telah terbukti melaksanakan perbuatan tercela, apalagi melanggar hukum, mirip dituduhkan dewan perwakilan rakyat maka dewan perwakilan rakyat segera bersidang untuk memberikan kepada MPR (Pasal 7B ayat (5)).
e. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari semenjak Majelis Permusyawaratan Rakyat mendapatkan usul tersebut (Pasal 7B ayat (6)). (proses politik)
f. MPR mampu memberhentikan Presiden dan/atau Wapres kalau dalam sidang untuk itu dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR dan sekurang-kurangnya 2/3 yang hadir menyetujui usul pembehentian itu (Pasal 7B ayat (7)).
Terkait dengan hal tersebut diatas, Pasal 24C ayat (2) mengatur bahwa: “Mahkamah Konstitusi wajib memperlihatkan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wapres berdasarkan UndangUndang Dasar”. Pasal tersebut menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melibatkan diri dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres sebagai proses aturan yang harus dilalui terlebih dulu.
Berdasarkan Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (2) tersebut, prosedur atau proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres di Indonesia menganut sistem adonan yaitu melalui prosedur politik dan prosedur hukum. Proses pemberhentian itu dimulai dari arena politik di dewan perwakilan rakyat yang beropini Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pelanggaran, selanjutnya perkara pelanggaran itu dibawa ke arena yuridis yaitu di Mahkamah Konstitusi untuk di putus. Setelah Makamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wapres telah terbukti bersalah, maka kembali ke arena politik yaitu dibawa ke sidang MPR untuk diputuskan. Ditangan MPR lah sebagai arena politik keputusan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres itu ditentukan.
Ad. d)Memilih Wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
Sistem pemilihan Presiden dan/atau wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, mirip yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), tidak menghapus fungsi perwakilan MPR secara keseluruhan, terutama terkait dengan tugasnya menentukan Wakil Presiden. Dalam keadaan tertentu MPR masih menjalankan fungsi perwakilan untuk menentukan Wapres mirip diatur dalam Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan:
“Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk menentukan Wapres dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden”.
Kaprikornus dalam hal terjadi kekosongan Wakil presiden, MPR masih mempunyai wewenang untuk menentukan Wapres yang diusulkan oleh Presiden untuk mengatasi kekosongan jabatan tersebut.
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden berhak mengusulkan dua calon Wakil Presiden. Kekosongan itu mampu terjadi alasannya ialah Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, dan tidak mampu melaksanakan kewajibannya (Bagir Manan, 2003: 93). Ini berarti kalau Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, dan tidak mampu melaksanakan kewajibannya, Wapres itu tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, alasannya ialah hanya diusulkan oleh Presiden dan dipilih oleh MPR sehingga hal itu dirasa tidak mencerminkan demokrasi.
Hal itu mungkin dikarenakan Wapres merupakan jabatan yang bertugas mendampingi Presiden, maka ia harus mampu berhubungan dengan Presiden dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu, tampaknya mustahil diadakan pemilihan umum hanya untuk menentukan seorang Wapres saja, alasannya ialah intinya Presiden dan Wapres dipilih dalam satu pasangan calon melalui pemilihan secara langsung.
Sebagaimana dijelaskan Bagir Manan, calon Wapres untuk mengisi kekosongan diajukan oleh Presiden. Jalan pikiran dari penuyusunan ketentuan ini ialah untuk menjamin kolaborasi antara Presiden dan Wapres baru. Pernahkah terpikirkan, ancaman yang lebih potensial dibandingkan menjamin kolaborasi Presiden dan Wakil Presiden. Presiden tidak hanya menentukan calon yang mampu bekerja sama, tetapi yang akan tunduk pada kemauan Presiden belaka (Bagir Manan, 2003: 95).
Jadi dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, Presiden berhak mengusulkan dua calon Wakil Presiden. Hal itu untuk menjamin adanya kolaborasi antara Presiden dengan Wapres baru, alasannya ialah tanpa adanya kolaborasi maka akan menganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian MPR menentukan satu dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden itu. Meskipun hal itu dirasa tidak mencerminkan demokrasi, namun wewenang ini dirasa perlu untuk mengatasi terjadinya kekosongan Wakil Presiden.
Ad. e) Memilih Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres dalam masa jabatanya kalau terjadi kekosongan secara bersamaan
Wewenang ini juga memperlihatkan bahwa MPR masih melaksanakan fungsi perwakilan yang sangat kuat. Dalam terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wapres secara bersamaan, maka MPR berwenang untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 8 ayat (3) yang mengatur mengenai wewenang ini menyatakan:
“Jika Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana peran kepresidenan ialah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari sehabis itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk menentukan Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, hingga simpulan masa jabatannya”.
Presiden dan Wapres yang seharusnya dipilih oleh rakyat secara langsung, namun hak yang diatur secara tegas dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 tersebut tidak mampu dilaksanakan kalau Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatanya secara bersamaan.
Untuk menyelenggarakan pemilihan umum menentukan Presiden dan Wapres secara langsung memerlukan persiapan yang cukup lama, padahal kekosongan jabatan Presiden dan Wapres harus segara diisi. Sehingga konstitusi memperlihatkan wewenang itu kepada MPR sebagai salah satu forum perwakilan yang dianggap lebih mampu mewakili kehendak seluruh rakyat dengan pertimbangan unsur keanggotaannya terdiri dari anggota dewan perwakilan rakyat dan DPD yang lebih mencerminkan kedaulatan rakyat.
Sementara untuk mengatasi kekosongan selama belum dipilih Presiden dan Wapres baru, pelaksana peran kepresidenan ialah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Penunjukan ketiga menteri itu dirasa cukup untuk mewakili peran pokok Presiden dalam urusan dalam negeri, luar negeri dan pertahanan.
Sebenarnya wewenang ini sama dengan wewenang yang diatur dalam pasal Pasal 8 ayat (2), hanya saja perkara dan mekanismenya berbeda. Wewenang yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) itu timbul alasannya ialah terjadi kekosongan jabatan Wapres saja sedang prosedur pengisian itu dilakukan dengan cara Presiden mengusulkan dua calon Wakil Presiden, kemudian MPR menentukan satu diantara dua calon yang diajukan itu.
Sedangkan wewenang yang diatur dalam pasal 8 ayat (3) itu muncul alasannya ialah terjadi kekosongan Presiden dan Wapres secara bersamaan, sedangkan untuk pengisian dua jabatan itu dilakukan dengan jalan menentukan dua pasangan Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya. Kaprikornus MPR itu menjalankan fungsi perwakilan dalam hal terjadi kekosongan Wapres saja dan terjadinya kekosongan jabatan Presiden dan Wapres secara bersamaan, hal itu dilakukan untuk mengatasi kekosongan jabatan tersebut yang harus segera diisi.
Dari uraian mengenai peran dan wewenang sehabis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, mampu dilihat fungsi Majelis sebagai salah satu forum yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Fungsi Majelis sebelum dan sehabis Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, bahu-membahu ialah sama, hanya saja wewenang yang menjadi subtansi dari fungsi itu yang membedakannya.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah peran dan wewenang MPR, sehingga fungsi MPR yang tercermin dari peran dan wewenang dalam hal subtansinya juga berubah. Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (hasil perubahan) MPR untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tetap memegang tiga fungsi, adapun ketiga fungsi itu ialah sebagai berikut:
(1) Fungsi Konstitusi
Fungsi ini tercermin dari peran dan wewenang MPR untuk mengubah dan memutuskan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1)). Hal ini bertujuan untuk mengakomodir kehendak rakyat yang mungkin akan muncul sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu juga untuk mengatasi kelemahan-kelemahan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang dirasa perlu dilakukan perbaikan atau penyempurnaan untuk menjamin penyelenggaraan negara yang demokratis serta terjaminnya HAM.
(2) Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan tercermin dari peran dan wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatanya berdasarkan UUD. Fungsi ini merupakan tindak lanjut dari fungsi pengawasan DPR, MPR berwenang mengambil keputusan terhadap tawaran dewan perwakilan rakyat untuk memberhentikan Presiden dan Wapres di tengah masa jabatannya sehabis Mahkamah Konstitusi memeriksa, mangadili, dan memutus tawaran dewan perwakilan rakyat perihal usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakli Presiden. Kaprikornus MPR berhak mengambil keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres kalau MPR menilai Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pelanggaran sebagai hukuman yang mampu diambil.
(3) Fungsi Perwakilan (fungsi electoral)
Fungsi perwakilan tercermin dari peran dan wewenang MPR untuk melantik Presiden dan/atauWakil Presiden, Memilih Wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, dan menentukan Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapres yang diusulkan oleh partai politik atau adonan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih bunyi terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya hingga berakhir masa jabatanya, kalau Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatanya secara bersamaan.
Baca Juga: BPK
Fungsi ini juga disebut fungsi electoral, alasannya ialah dalam hal ini MPR bertugas dan berwenang menentukan pejabat.