Latar Belakang,Sejarah, Rumusan, Perubahan, Dan Pengertian Isi Piagam Jakarta Menurut Para Ahli
Piagam Jakarta yaitu sebuah dokumen penting yang membidani kelahiran negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta tidak lain yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ada sekarang, minus 7 kata dalam Pembukaan tersebut serta penambahan 3 kata “Yang Maha Esa” sehabis kata “Ketuhanan”.
22 Juni 1945. Hari ini, 62 tahun silam, preambule atau naskah pembukaan dari draft konstitusi negara berhasil disepakati oleh BPUPKI. Naskah preambule inilah yang kelak dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Pada mulanya, antara lain dicantumkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sewaktu pengumuman Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, 7 kata tersebut dicoret dan diganti sehingga berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencoretan tersebut membawa debat konstitusional yang panjang hingga sekarang.[1]
Piagam Jakarta disusun Panitia Sembilan yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno terdiri atas sembilan orang anggota BPUPKI yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Muhammad Yamin.
Panitia Sembilan dibuat oleh BPUPKI menyusul kegagalan menemukan mufakat ihwal “dasar negara”. Di luar pembahasan cuilan tersebut, BPUPKI berhasil mencapai kompromi. Hal-hal mirip bentuk negara atau batas negara relatif lebih gampang dicarikan komprominya.
Tetapi sejauh menyangkut dasar negara, mufakat sungguh sulit dicapai. Ada dua kubu yang bersitegang yaitu kubu yang menginginkan prinsip kebangsaan sebagai dasar negara dan kubu yang menginginkan semoga Islam dijadikan sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut merupakan muara dari dua cara pandang dalam memosisikan kekerabatan antara negara dan agama.
Seperti diuraikan dalam disertasi Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, dari 68 anggora BPUPKI, hanya 15 orang saja yang benar-benar mampu dianggap mewakili aspirasi politik dan ideologis umat Islam. Anggota BPUPKI di luar yang 15 orang itu mampu dibilang bersepakat untuk menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.
Kebuntuan itulah yang melahirkan Panitia Sembilan yang diberi peran untuk menemukan mufakat soal dasar negara. Kubu yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar negara mengirimkan empat wakilnya yaitu Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Abdulkahar Muzakir (Muhammadiyah), H.A. Salim (Penjadar), Wachid Hasjim (NU).
Panitia inilah yang pada 22 Juni 1945 melaporkan hasil kerjanya yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. 90 persen isi Piagam Jakarta masih sama dengan preambule atau Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 mirip yang kita kenal sekarang. Piagam Jakarta ini pula yang melahirkan klausul berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” masuk pada Preambule Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kompromi terhadap kelompok Islam yang mampu mendapatkan dasar negara kebangsaan dan bukan negara berdasar Islam.
Tetapi perdebatan ternyata tak berhenti di situ. Pada sore hari 17 Agustus 1945, Hatta didatangi seorang perwira Angkatan Laut yang mengaku membawa aspirasi masyarakat Indonesia cuilan timur yang keberatan dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Esok hari menjelang digelarnya sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Hatta membawa kasus tersebut ke hadapan sejumlah anggota BPUPKI yang dulu bersiteguh menginginkan Islam dijadikan dasar negara. Ki Bagus Hadikusumo (dari Muhammadiyah) bersikeras semoga 7 kata Piagam Jakarta tetap dipertahankan, betapa pun keras perjuangan Hatta dan Soekarno membujuknya. Berkat upaya Kasman Singodimedjo yang mendekati wakil-wakil Islam sajalah jadinya kelompok Islam mampu mendapatkan dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta itu.
Polemik ihwal dasar negara terus berlanjut pada sidang-sidang Konstituante pada dekade 1950-an, tentu saja dengan membawa-bawa gosip Piagam Jakarta. Dibubarkannya Konstituante oleh Dekrit Presiden 1959 menciptakan perdebatan terbuka soal dasar negara mendadak terhenti.
Barangkali untuk menjawab ketidakpuasan kelompok Islam, Presiden Soekarno, dalam pidato pengantarDekrit Presiden 5 Juli 1959, secara eksplisit mengakui bahwa Piagam Jakarta telah menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Kami berkeyakinan bahwa, kata Soekarno, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan yaitu merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Menurut penulis, anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berarti kewajiban yang dibebankan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan kepada warga negara beragama Islam. Hal itu lantaran syariat Islam dalam pelaksanaannya mampu dibagi kepada dua bahagian.
Bahagian pertama yaitu syariat yang tidak membutuhkan kekuasaan negara, dengan menyerahkan pelaksanaannya kepada ketaatan individu para penganut. Seluruh syariat Islam sebetulnya sangat mengandalkan ketaatan individu muslim, tetapi juga ada cuilan yang khusus menjadi peran negara. Bagian kedua ini merupakan kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada individu sebagai cuilan dari penegakan aturan dalam sebuah negara berdaulat.
Dalam Dekrit Presiden RI Penglima Tertinggi Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945 antara lain Presiden Soekarno menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan yaitu merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dari alinia ini mampu dipahami bahwa ketentuan aturan perihal kewajiban menjalankan syariat Islam oleh negara kepada warga yang beragama Islam tetap berlaku, walaupun lantaran pertimbangan politik teks tujuh kata tersebut telah dihilangkan. Ketentuan aturan yang masih berlaku inilah, berdasarkan penulis, yang melahirkan aneka macam peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga yang bernuansa syariat Islam dari waktu ke waktu.
Dalam sidang tahunan MPR tahun dua ribuan, ketujuh kata yang dicoret tersebut diupayakan oleh Fraksi Partai Bulan Bintang dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan untuk masuk ke dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 perihal Agama sehingga berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Upaya ini ternyata tidak berhasil lantaran tidak mendapat pinjaman dominan di MPR,[2] tetapi juru bicara salah satu fraksi yang mengusulkannya pada penyampaian pendapat final fraksi di MPR antara lain menyatakan: “Kami sadar bahwa upaya memasukkan klausal syariat Islam ke dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu bagaikan upaya menembus tembok besar yang tak mungkin ditembus, tetapi kami yakin seyakin-yakinnya bahwa syariat Islam didukung oleh dominan bangsa Indonesia yang beragama Islam.”
Pertanyaan
Pertanyaan yang muncul sekarang, dengan ditolaknya klausal tersebut masuk ke dalam konstitusi, apakah negara Repbulik Indonesia dalam perjalanannya telah mengabaikan syariat Islam? Apakah dalam perjalanan sejarah aturan Indonesia Piagam Jakarta masih menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan cuilan yang tidak terpisah dari konstitusi mirip diyakini oleh Presiden Soekarno? Apakah betul syariat Islam mendapat pinjaman dominan ummat Islam? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini berarti menelusuri sejarah hukum, mengitip L.J. van Apeldoorn, dengan melihat hal-hal yang tidak berubah dalam perjalanan aturan suatu bangsa dan hal-hal yang berubah.[3]
Dalam kenyataannya, semenjak para pendiri bangsa mengesahkan kata syariat Islam masuk ke dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, telah terjadi dinamika yang cukup berarti perihal pemaknaan kata tersebut dalam sejarah aturan kita. Tidak mampu diragukan bahwa syariat Islam dalam khazanah kajian Islam di Indonesia mempunyai makna yang jelas,[4] tetapi dari sudut aturan nasional belum mempunyai makna atau tafsir kongkrit.
Kajian syariat Islam telah semenjak usang dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat paling rendah hingga ke tingkat paling tinggi di universitas, tetapi sebagai sebuah istilah aturan gres Indonesia, kata ini belum mempunyai definisi yang baku.
Perudang-Undangan Syariah
Sungguhpun demikian, jikalau kita melihat produk perundang-undangan berafiliasi dengan Islam yang dilahirkan di zaman republik, ternyata istilah aturan Islam dan syariat Islam (juga: syariah) dipakai silih berganti (interchangable).
Setelah Piagam Jakarta, istilah syariat masuk pertama kali ke dalam khazanah aturan Indonesia melalui UU No. 10 Tahun 1998 UU sebagaimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 1992 perihal Perbankan di mana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (12):
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang didanai untuk mengembalikan uang atau tagihan tabungan dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Pasal 1 ayat (10) undang-undang tersebutnya menyatakan:
“Prinsip Syariah yaitu aturan perjanjian berdasarkan aturan Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh laba (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
Dalam pasal ini diterangkan dengan terang bahwa yang dimaksud prinsip syariah yaitu aturan perjanjian berdasarkan aturan Islam. Makara istilah syariah di sini disamakan dengan aturan Islam.
Jauh sebelum ini, yaitu tanggal 10 Juni 1991, telah terbit Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tiga buku perihal Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Khusus mengenai Buku III telah disempurnakan menjadi UU No. UU No. 41/2004 perihal Wakaf. Buku I dan Buku II KHI juga sedang mengalami revisi dan telah menjadi RUU, dan cepat atau lambat tentu juga akan menjadi UU. Hukum Islam dalam KHI ini tidak lain yaitu kompilasi syariat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak diterbitkan, KHI telah dipakai sebagai aturan materiil di Peradilan Agama (PA) yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.
Istilah syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2001 perihal Otonomi Khusus Daerah spesial Aceh sebagai Propinsi Naggroe Aceh Darussalam yang disahkan tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 114 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134).
Dalam Pasal ini dinyatakan bahwa:
- “Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD sebagai cuilan dari sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syariyah yang bebas dari imbas pihak mana pun.”
- “Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem aturan nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi NAD.”
Mahkamah Syariyah atau Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD yaitu PA plus dengan kewenangan melebihi PA di propinsi-propinsi lain berdasarkan Qanun NAD sebagai Perda Otonomi Khusus.
Indonesia juga mempunyai beberapa peraturan perundang-undangan yang berafiliasi dengan ekonomi syariah. Di antaranya yaitu Undang-Undang No. 9/2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-Undang No. 21/2008 Tentang Perbankan Syariah.
Selanjutnya pada tanggal 10 September 2008 terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Pasal 1 menyatakan: “Ekonomi syariah yaitu perjuangan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, tubuh perjuangan yang berbadan aturan atau tidak berbadan aturan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial berdasarkan prinsip syariah.”
KHES terdiri dari 4 Bab, yaitu Buku I Tentang Subyek Hukum dan Amwal, Buku II Tentang Akad, Buku III Tentang Zakakt dan Hibah, dan Buku IV Tentang Akutansi Syariah.
Perundang-undangan syariat Islam di darah tingkat satu dan tingkat dua tidak hanya melalui Qanun Propinsi NAD, tetapi juga aneka macam Peraturan Daerah (Perda), Surat Edaran dan lain-lain di beberapa daerah. Misalnya yaitu di Bulukumba (Sulawesi Selatan), yaitu Perda No. 03/2002 perihal Larangan Penertiban dan Penjualan Minuman Keras, Perda No. 02/2003 perihal Pengelolaan Zakat, Infak dan Sedekah, Perda No. 05/2003 perihal Berpakaian Muslim dan Muslimah, Perda No. 06/2005 perihal Pandai Baca-Tulis al-Quran Bagi Siswa dan Calon Penganten. Di Maros (Sulawesi Selatan) ada Perda No. 15, 16, 17/Desember 2005 perihal Buta Aksara al-Quran, Busana Muslim, dan Pengelolaan Zakat. Di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) ada Perda No. 09/2005 perihal Zakat Profesi. Di Pamekasan (Madura) ada Perda No. 18/2001 perihal Larangan Perederan Minuman Beralkohol. Di Cianjur (Jawa Barat) ada Surat Edaran No. 061/2896/Org perihal Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah) Pada Hari-Hari Kerja. Di Padang (Sumatera Barat) ada Instruksi Wali Kota No. 451.442/Binsos-III/2005 perihal Kewajiban Berbusana Muslim. Di Riau ada Surat Gubernur No. 003.1/UM/08.1 perihal Pembuatan Papan Nama Arab-Melayu.[5]
Beberapa Perda memperlihatkan adanya pinjaman terhadap syariat Islam dari wakil-wakil rakyat di daerah-daerah tertentu. Melihat perkembangan sekarang, tidak tidak mungkin jumlah Perda syariat Islam akan bertambah di masa depan. Ini tentu di samping perundang-undangan pada tingkat sentra yang akan lahir dalam waktu akrab atau di masa depan untuk mendukung reformasi aturan di negeri ini.
Ternyata aneka macam perda, himbauan dan surat edaran tersebut mendapat balasan negatif dari 56 anggota dewan perwakilan rakyat RI dengan alasan bahwa pembentukannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[6] Sungguhpun demikian, aneka macam fraksi di dewan perwakilan rakyat melalui juru bicara mereka tidak sependapat dengan kelompok ini. Mereka menyatakan bahwa tidak ada kasus dengan perda-perda bernuansa syariah. Sebenarnya, dalam sebuah negara demokrasi, yaitu biasa jikalau terjadi perbedaan pendapat perihal suatu masalah, tetapi jikalau ada pihak yang menyatakan bahwa Peraturan Daerah tertentu bertentangan dengan undang-undang atau konstitusi, sepatutnya yang bersangkutan menempuh jalur aturan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Kedua forum inilah yang diberi wewenang oleh undang-undang dan Undang-Undang Dasar untuk memeriksa, memutuskan dan memutuskan apakah sebuah peraturan perundang-undangan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi atau dengan konstitusi.
Ekonomi Syariah
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 perihal Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama menyatakan bahwa salah satu kewenangan Peradilan Agama yaitu memutus sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Hukum ekonomi syariah yang dimaksud mencakup sebelas jenis, yaitu a.bank syariah; b. forum keuangan makro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun forum keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis aturan ekonomi syariah ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu‘amalat dalam syariat Islam telah menjadi aturan positif di Indonesia.
Kajian ekonomi syariah mendapat perhatian besar dari kalangan universitas melalui agenda strata 1, 2 dan 3 di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, dan juga Fakultas Syariah dan Hukum UIN. Hasil kajian berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah seminar dan buku perihal ekonomi syariah cukup tersedia di Indonesia. Dulunya literatur dalam bidang ini lebih banyak ditemukan dalam bahasa Inggeris dan Arab, tetapi kini sudah cukup tersedia dalam bahasa Indonesia. Ini memperlihatkan adanya minat dan pinjaman yang besar dari kalangan akademisi terhadap perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Pembuat undang-undang RI menambah kewenangan gres PA yaitu disebabkan lantaran praktek ekonomi syariah sudah meluas dalam masyarakat Indonesia. Dari data tahun 2005, ternyata telah beroperasi 3 buah bank umum syariah, 15 unit perjuangan syariah pada bank umum, 20 buah forum asuransi syariah, 12 buah forum reksa dana syariah, dan 18 buah forum obligasi syariah.[7] Dengan berkembangnya ekonomi syariah, maka potensi sengketa dari para pihak semakin besar dan pembuat UU menentukan PA sebagai tempat penyelesaian sengketa tersebut.
Peradilan Agama sebagai salah satu cuilan dari sistem peradilan nasional Indonesia yaitu peradilan yang mengadili kasus masyarakat berdasarkan aturan atau syariat Islam. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama dan juga dalam perubahannya (UU No. 3/2006), kata syariah juga dicantumkan dalam hubungannya dengan sarjana syariah. Dicantumkan dalam beberapa pasal perihal keharusan mempunyai ijazah sarjana syariah bagi hakim agama, hakim tinggi agama, penitera PA, sekretaris PTA dan lain-lain.
Pendidikan Syariah
Jauh sebelum berdirinya bank syariah pertama di Jakarta, telah berdiri belasan, bahkan lebih, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)[8] dan belasan Fakultas Syariah di luar IAIN di seluruh Indonesia. Sekarang sebagian IAIN telah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri)[9] dan sebagian Fakultas Syariah UIN telah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum sehingga di masa depan diperlukan kajian syariah semakin menyatu dengan kajian hukum. Sebelum ini, kurikulum Fakultas Syariah dan kurikulum Fakultas Hukum mempunyai orientasi yang berbeda.
Kurikulum yang pertama biasanya mengarah kepada aturan yang ada dalam kitab-kitab fiqh, sementara kurikulum yang kedua mengarah kepada aturan terapan yang berlaku sehari-hari dalam sistem aturan Indonesia. Alumni Fakultas Syariah, dan juga Fakultas Hukum dan Syariah sekarang, banyak yang menjadi hakim, panitera, juru sita dan pegawai PA sebagai Peradilan Syariat Islam di Indonesia. Dengan UU Advokat[11] yang baru, sarjana syariah juga mempunyai peluang untuk menjadi advokat.
Dewan, Pengawas dan Arbitrasi Syariah
Baik kajian maupun praktek ekonomi syariah mulai berkembang di Indonesia, tetapi belum ada undang-undang khusus dalam bidang ini, termasuk undang-undang payung yang dibutuhkan dalam waktu dekat. RUU Perbankan Syariah masih dalam pembicaraan antara Pemerintah dan DPR. Sementara itu, praktek ekonomi syariah sudah berjalan dalam masyarakat. Jalan keluar yang ditempuh yaitu membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menerbitkan anutan yang dibutuhkan dalam bidang ekonomi syariah secara umum dan Badan Pengawas Syariah untuk mengawasi kegiatan forum ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Penggunaan anutan DSN sebagai pengganti kekosongan peraturan perundang-undangan di bidang aturan ekonomi syariah di Indonesia merupakan sebuah fenomena gres yang patut mendapat perhatian para ahli. Fatwa sebagai legal opinion lazimnya tidak bersifat mengikat secara hukum, tetapi beberapa anutan DSN dalam hal tertentu mengikat forum ekonomi dan keuangan syariah.
Untuk menuntaskan sengketa yang timbul antara para pihak dalam ekonomi syariah, telah dibuat Badan Arbitrasi Syariah. Sebagian dari fatwa-fatwa DSN telah diserap ke dalam Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia. Sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan, juga ada upaya dari Bank Indonesia untuk positivisasi fatwa-fatwa DSN. Sekarang dengan terbitnya UU No. 3/2006 yang memperlihatkan kewenangan kepada PA untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, maka timbul beberapa permasalahan baru.
Permasalahan
Permasalahan pertama, belum tersedianya aturan agenda dan aturan materiil untuk aturan ekonomi syariah berupa peraturan perundang-undangan. Aturan satu-satunya yang tersedia yaitu beberapa puluh anutan DSN dan fiqh para fuqaha’ yang masih tersebar di aneka macam kitab fiqh klasik dan modern.
Permasalahan kedua, DSN memutuskan dalam hampir semua fatwanya, bahwa jikalau terjadi sengketa yang tidak mampu diselesaikan secara musyawarah, maka penyelesainnya melalui Badan Arbitrasi Syariah dan tidak merekomendasikan untuk dibawa ke pengadilan.
Jalan keluar yang mampu diusulkan yaitu merevisi semua anutan yang berafiliasi dengan klausal arbitrasi dan menggantinya dengan penyelesaikan sengketa melalui PA, atau memperlihatkan opsi antara arbitrasi dan peradilan. Jalan keluar kedua dalam jangka waktu akrab sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang relevan di bidang ekonomi syariah yaitu membentuk Kompilasi Hukum Ekonomi dan/atau Keuangan Syariah, mengikuti tradisi Kompilasi Hukum Islam dalam bidang Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan yang sudah ada.
Penutup
Menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan di atas, mampu disimpulkan beberapa hal berikut ini:
Kelahiran aneka macam perundang-undangan berbasis syariat Islam, baik di tingkat sentra maupun di tingkat daerah, semenjak 22 Juni 1945 menerangkan tanda-tanda syariat Islam sebagai aturan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Gejala tersebut juga mampu dilihat dari penggunaan anutan DSN akhir-akhir ini sebagai pengganti kekosongan peraturan perundang-undangan dalam bidang aturan ekonomi syariah.
Gejala ini juga didukung oleh peningkatan kewenangan PA, termasuk Mahkamah Syariyah di Propinsi NAD, yang tadinya terbatas dan putusannya harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum, kini yaitu cuilan dari empat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.
Baca Juga : Perang Diponegoro
Penegakan syariat Islam dalam bentuk aturan negara sebetulnya sangat mendukung reformasi dalam bidang hukum. Syariat Islam sebagai aturan yang berasal usul dari ketentuan ilahi akan memberi jiwa kepada aturan nasional yang dihormati, terutama oleh warga negara yang meyakini kebenarannya secara agama.