Hukum agraria yakni keseluruhan ketetapan yang undang-undang perdata, tata negara, tata usaha negara, yang membatasi hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam semua kawasan negara, dan membatasi pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut, Oleh Karena itu kami akan bahas tentang Asas Asas, Sejarah, Sumber, Tujuan, Contoh Dan Pengertian Hukum Agraria Menurut Para Ahli. selamat membaca sahabat fappin
Hukum Agraria/ Undang Undang Agraria pasti berdiskusi perihal undang-undang soal tanah, demikian kebanyakan kita berpikir mengenai agraria yang tak jarang diperbincangkan. Sebab istilah agraria memang identik dengan situasi sulit tanah. Dikala pula dengan Hukum agraria. Cuma mendengarnya kita segera menyamakan dengan pengontrolan atas tanah berdasarkan undang-undang yang ada. Dan hal ini tak sepenuhnya salah dikala mengidentikkan undang-undang perihal tanah dengan undang-undang agraria.
Daftar Isi
Pengertian Undang-undang Agraria
Undang-undang meliputi Undang-undang Pertanahan, yakni bidang undang-undang yang membatasi hak-hak pengontrolan atas tanah.Apabila dimaksud tanah di sini yakni cocok dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yakni permukaan tanah, yang dalam penggunaannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2),meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukanuntuk kepentingan yang segera berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas berdasarkan UUPA, dan undang-undang-perturan undang-undang lain yang lebih tinggi.
Jadi, rumusan dari undang-undang agraria yakni keseluruhan undang-undang perundang-undangan yang membatasi mengenai agraria (pertanahan).
Hukum Agraria dalam ilmu undang-undang sesungguhnya memiliki pengertian yang lebih luas. Dalam bahasa latin, agraria yang tak jarang di ucap dengan “ager” memiliki arti tanah atau sebidang tanah. Dalam bahasa latin pula kata “agrarius” berarti persawahan atau perladangan atau dapat juga pertanian. Undang-undang kita buka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diungkapkan bahwa “Agraria” berarti urusan pertanahan dan atau tanah pertanahan serta urusan pemilikan atas tanah. Sedang dalam bahasa inggris istilah agraria atau tak jarang disebut dengan “agrarian” yang berarti tanah dan tak jarang dihubungkan dengan berbagai usaha pertanian.
Definisi perihal agraria yang demikian, sungguh-sungguh berlainan dengan pengertian agraria yang termaktub dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-undang Agraria) yang memberikan pengertian agraria dalam arti yang lebih luas, yakni bahwa agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria yang berarti sungguh-sungguh luas tersebut berdasarkan berbagai rumusan dapat kita peroleh dalam Hukum Pokok Agraria, bagus di dalam konsiderans, pasal dan penjelasan Hukum Pokok Agraria atau tak jarang kita ucap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No.5/Tahun 1960).
Ia pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dalam membeberkan perihal undang-Hukum agraria diantaranya yakni: Gouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, mendefinisikan bahwa Hukum agraria yakni undang-undang yang identik dengan tanah, undang-undang agraria dalam arti yang sempit.
Dalam buku Pengantar dalam Undang-undang Indonesia 16, E. Utrecht memberikan pengertian yang sama kepada Hukum agraria dan undang-undang tanah. Undang-undang berpendapat bahwa undang-undang agraria (undang-undang tanah) menjadi bukum tata usaha negara
W.L.G Lemaire dalam buku Het Recht in Indonesia 1952 membicarakan Hukum agraria yakni suatu kelompok undang-undang bulat yang meliputi komponen undang-undang privat ataupun komponen undang-undang tata negara dan undang-undang administrasi negara.
Sedang Bachsan Mustafa, SH., memberikan pengertian bahwa undang-undang agraria yakni sebagai himpunan undang-undang yang membatasi bagaimana para pejabat pemerintah melaksanakan tugas di bidang keagrariaan.
Dan Boedi Harsono, memberikan pengertian kepada undang-undang agraria bahwa Hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang undang-undang semata. Hukum agraria yakni satu kelompok berbagai bidang undang-undang yang membatasi pengontrolan atas berbagai sumber tenaga alam tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria.
Dari berbagai pengertian perihal Hukum agraria di atas, kita dapat mengenal bahwa sesungguhnya Hukum agraria memiliki pengertian bagus dalam pengertian undang-undang agraria secara luas ataupun pengertian Hukum agraria secara sempit.
Asas asas Hukum Agraria
Hukum agraria di Indonesia menggunakan berbagai azas antara lain yakni:
Hukum agraria berasaskan nasionalisme dimana hanya warga negara Indonesia saja yang memiliki hak milik atas tanah atau yang boleh memiliki hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tak membedakan antara laki dan perempuan serta warga negara orisinil dan keturunan.
Hukum agraria berazaskan undang-undang adat, mengandung maksud bahwa undang-undang adat yang diaplikasikan dalam Hukum agraria yakni undang-undang adat yang telah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
Undang-undang agraria berazaskan dipegang oleh negara, seperti yang termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dipegang oleh negara sebagai organisasi kekuasaan semua rakyat.
Hukum agraria berazas fungsi sosial, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa pengaplikasian tanah tak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan awam, kesusilaan serta keagamaan.
Undang-undang agraria berazas gotong royong, diceritakan dalam pasal 12 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa semua usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam format koperasi atau dalam format usaha gotong royong lainnya dan negara dapat bersama-sama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
Undang-undang agraria berdasarkan azas kebangsaan menyatakan bahwa tiap warga negara Indonesia bagus orisinil ataupun warga Indonesia keturunan mempunyai hak memiliki hak atas tanah.
Hukum agraria berdasar azas unifikasi, menyatakan bahwa undang-undang agraria disatukan dalam sebuah undang-undang yang diberlakukan bagi semua warga negara Indonesia, yang berarti hanya ada satu undang-undang agraria yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Pokok Agraria.
Hukum agraria berdasar azas non-diskriminasi dengan tegas menceritakan bahwa azas yang melandasi undang-undang agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) yakni bahwa Hukum Pokok Agraria tak membedakan antara sesama warga negara Indonesia bagus yang orisinil ataupun keturunan asing.
Undang-undang agraria berdasar atas azas pemisahan horizontal. Terdapat pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda atau bangunan yang terdapat diatas tanah tersebut. Asas ini yakni lawan asas vertikal atau asas perlekatan yang menyatakan bahwa semua apa yang menempel pada suatu benda atau yang yakni satu komponen dengan benda tersebut dianggap menjadi satu dengan komponen tersebut atau dengan kata lain tak terdapat pemisahan antara hak atas tanah dengan bangunan yang terdapat diatasnya.
Sumber Hukum Agraria
Sumber hukum agraria yang tertulis pertama yakni Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipegang oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sumber hukum agraria tertulis selanjutnya yakni Undang-Undang Pokok Agraria, dimana Undang-undang ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 perihal : Undang-undang Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043, kelak pada tanggal tersebut diperingati sebagai hari tani nasional.
Sumber undang-undang agraria tertulis lainnya yakni undang-undang cara kerja UUPA dan undang-undang yang membatasi soal-soal yang tak diwajibkan namun dibutuhkan dalam praktek. Memastikan juga undang-undang lama, namun dengan prasyarat tertentu berdasakan undang-undang atau pasal peralihan yang masih berlaku.
Sedang sumber undang-undang agraria yang tak tertulis yakni adat istiadat baru yang timbul setelah berlakunya
Konsepsi Dan Tujuan Hukum Agraria
Setidaknya ada lima kelompok yang membedakan perihal hukum agraria di Indonesia. Ada undang-undang tanah yang membatasi hak-hak pengontrolan ataas tanah dalam arti bumi. Ada hak air yakni undang-undang yang membatasi hak-hak atas air. Ada undang-undang pertambangan atau undang-undang yang membatasi hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam air. Ada undang-undang perikanan yakni undang-undang yang hak atas kekuasaan alam dalam air. Dan undang-undang pengontrolan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Serta undang-undang kehutanan yakni atuan yang membatasi hak-hak pengontrolan atas hutan.
Tujuan Hukum agraria bersifat religius disamping hak bangsa Indonesia bagus hak milik yang memiliki kedudukan paling tinggi yang meliputi semua tanah yang ada di Indonesia dan bersifat kekal juga hak merajai negara. Seperti termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa negara membatasi dan menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Undang-undang dan membatasi hubungan-hubungan undang-undang antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa.Undang-undang dan membatasi hubungan-hubungan undang-undang antara orang-orang dan tindakan undang-undang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Jadi, rumusan dari undang-undang agraria yakni keseluruhan undang-undang perundang-undangan yang membatasi mengenai agraria (pertanahan).
Sejarah Politik Hukum Agraria
Politik Sejarah Hukum agraria pada Zaman Kerajaan yang terjadi yakni politik Hukum Agraria yang diusahakan sebesar-besarnya bagi kerajaan. Raja biasanya memberikan tanah kepada para hambanya yang dianggap berjasa bagi kerajaan, mereka yang berjasa tersebut yang diberi kewenangan untuk mengelola dan hasilnyapun semestinya diserahkan kepada kerajaan atau istilahnya dipotong pajak istana.
Sedang politik Hukum agraria pada zaman penjajahan, pemanfaatan tanah penjajahan hanya diperuntukkan semata-mata buat pemerintah Hindia Belanda dalam undang-undang Agrariche wet 1866 & Agrariche bescuet. Dimana dalam Hukum agraria tersebut setidaknya ada empat komponen mengenai hak atas tanah. Melainkan erfact yakni tanah yang dipegang oleh penguasa penjajah. Melainkan milik atau eigendom yakni tergantung pada sifat absolut kepada pemiliknya sepenuh untuk diregistrasikan. Melainkan Obstal atau hak guna bangunan yakni bangunan yang ada pada suatu tanah, diberi kepada pemerintah dari negara Eropa.Tanah partikiler yakni tanah yang dimiliki oleh eigendom yang memiliki sifat dan seni khas tersendiri.
Politik undang-undang agraria yang demikian tersebut dikarenakan adanya suatu badan perdagangan yang disusun oleh pemerintah Belanda yang di beri nama VOC. Apabila kemudian mengeluarkan sebuah undang-undang agraria sekaligus melaksanakan pengawasan kepada pertanahan, dimana orang pribumi orisinil semestinya mengeluarkan sebagian persen pajak hasil dari pertaniannya kepada pemerintah Belanda. Politik undang-undang agraria ini dianggap merugikan bangsa indonesia karena pengaplikasian dan kepemilikan tanah lebih dipentingkan kepada pengusaha-pengusaha besar bangsa eropa.
Perkembangan politik Hukum agraria selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1779 VOC dibubarkan dan digantikan oleh Batetse republik. Dan mulai tanggal 01 Januari 1800 Indonesia dihasilkan komponen komponen dari kawasan negara Belanda yang di ucap dengan Nederland Hindi atau Hindia Belanda. Undang-undang VOC dibubarkan, kebijakan Politik undang-undang agraria diambil dan dipimpin oleh B.W Dendels. Undang-undang hasil pertanian pribumi dijula kepada pengusaha –pengusaha besar dari Belanda sendiri ataupun negera-negara lainnya. Pada dikala itu tanah-tanah yang menjadi sasaran kebijakan tersebut dinamakan tanah Parthikuler yang keperuntukannya deberikan kepada bangsa penjajah.
Politik hukm agraria dari Dendels kemudian digantikan oleh Janssen. Undang-undang tak jauh berbeda dengan politik undang-undang agraria sebelumnya, politik undang-undang agraria pada massa Janssen ini juga masih tetap merampas hak-hak kekayaan masyarakat pribumi. Undang-undang Dendels, politik undang-undang agraria kemudian digantikan oleh Ravles dengan membentuk sebuah undang-undang agraria yang berbunyi, semua hak-hak pertanahan yakni milik raja. Undang-undang pajak tanah atau domeen laudrent dihasilkan dasar dalam memberlakukan pertanahan sebagai ketetapan tanah yang dipegang atau diaplikasikan oleh Ravles yakni milik raja.
Politik hukum agraria dikala itu, petani membayar pajak tak berdasar pada luasan lahan yang digarap, namun pendapatannya diberi kewenangan oleh kepala desa yakni siapa yang lebih besar membayar pajak, lahan yang digarap akan kian luas. Sedang yang membayar pajak lebih sedikit maka garapannya kian dipersempit. Hubungan ini sungguh-sungguh berbeda dengan keadaan zaman sekarang dimana orang yang memiliki lahan pertanian luas maka dia semestinya membayar pajak lebih. Oleh Vand de Bosch, politik undang-undang agraria yang digulirkan oleh Ravles tersebut kemudian diganti dengana undang-undang agraria yang dimaksudkan untuk kemakmuran rakyat. Kepemimpinan undang-undang agraria oleh van den Bosch ini tepatnya pada tahun 1816- 1830. Kelak undang-undang agraria van den Bosch ini kita ketahui sebagai cara tanam paksa. Sebab terbukti semua jajahan diwajibkan untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dibutuhkan di pasar internasional seperti kopi, teh, panila dan lain sebagainya.
Politik hukum agraria ini sungguh-sungguh merugikan bangsa pribumi karena tujuannya hanya untuk membangun negeri Belanda. Perkembangan politik undang-undang agraria selanjutnya pada tahun 1870 menjadi titik balik dari berlangsungnya sejarah politik undang-undang agraria belanda. Dengan dilegalkannya politik undang-undang agraria stat blad tahun 1870 nomor 55 yang memberikan kemungkinan atau jaminan modal yang besar pada wiraswasa asing agar tumbuh di Indonesia dan melindungi hak-hak rakyat atas tanah. Undang-undang agraria yang demikian itu terutama dapat di peroleh dalam pasal 51 yang terdiri dari dan berasal dari pasal 63 dikala itu. Undang-undang agraria yang dipegang dalam pasal 51 membeberkan bahwa gubernur jenderal tak boleh menjual tanah. Larangan menjual tanah ini terutama tanah perluasan, namun gubernur jenderal masaih dapat menyewakan tanah. Sedang tanah-tanah yang diberi kepada petani pribumi dijalankan sebagai daerah usaha pengembalaan.
Masa berlakunya ordenansi berdasarkan hukum agraria dikala itu diatur selama 75 tahun. Dimana dalam undang-undang agraria tersebut ditegaskan bahwa gubernur Jenderal diinginkan cakap menjaga jangan sampai ada pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat. Undang-undang agraria lainnya yakni Deginsel Domein Verklaring terutama Pasal 1 yang menceritakan bahwa semua tanah-tanah yang dipegang oleh penduduk peribumi yang tak dapat dijelaskan oleh kepemilikannya yakni milik negara.
Hukum agraria Domain Verklaring ini menggambarkan bahwa tanah-tanah yang dipegang oleh masyarakat pribumi dan tak dapat memabuktikannya, maka tanah tersebut yakni milik pemerintah Hindia Belanda.
Sejarah hukum agraria pada jaman Hindia Belanda dengan asas Domein dan Agrarische Wet dengan jelas menggambarkan bahawa undang-undang agraria tersebut dimaksudkan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapatkan prioritas dan fasilitas dalam bidang pengontrolan dan pengaplikasian tanah padahal kelompok bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Politik undang-undang agraria berdasarkan Agrarische Wet pemerintah Hindia Belanda bertingkah sama kedudukannya dengan orang, menonjol adanya campur tangan pemerintah dalam situasi sulit agraria pada umunya, padahal setelah Indonesia merdeka pemerintah bertingkah selaku penguasa.
Undang-undang agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3). Sedang UUPA No 5 Tahun 1960 membatasi hubungan undang-undang antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria antara negara sebagai organisasi kekuasaan dari semua rakyat indonesia yakni atas dasar hak merajai, maka negara dapat menentukan berbagai-variasi hak atas tanah, membatasi pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, membuat perencanaan mengenai penyediaan, peruntukan dan pengaplikasian Bumi Air Ruang Angkasa yang terkandung di dalamnya, mencabut hak-hak atas tanah untuk kebutuhan kepentingan awam, mendapatkan kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, dilepaskan, subyek hak tak memenuhi prasyarat dan mengusahakan agar usaha-usaha di lapangan agraria dipegang sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat.
Undang-undang agraria yang bertujuan dalam memberikan hak merajai kepada negara yakni untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara undang-undang Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Melainkan negara untuk merajai pada sesungguhnya memberi wewenang kepada negara untuk: membatasi dan menyelenggarakan peruntukan, pengaplikasian, persediaan dan pemeliharaan bumi air ruang angkasa.
Apabila dimaksud dengan hak atas tanah dalam undang-undang agraria yakni hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar dibutuhkan untuk kebutuhan yang segera berhubungan dengan pengaplikasian tanah itu, dalam batas-batas berdasarkan UU ini dan undang-undang undang-undang lain yang lebih tinggi. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipegang oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Landasan Hukum Agraria
Landasan Hukum Agraria yakni ketetapan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang yakni sumber undang-undang materiil dalam pembinaan undang-undang agraria nasional. undang-undang agraria Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA yakni dimuatnya pasal tersebut dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dihasilkan dasar undang-undang bagi pembentukan UUPA dan yakni sumber undang-undang (materiil) bagi penguasaannya. bahwa Hukum agraria tersebut semestinya pula yakni cara kerja dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketetapan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mengharuskan Negara untuk membatasi pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, sampai semua tanah diseluruh kawasan kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagus secara perseorangan ataupun secara gotong-royong.
Dalam penjelasan UUPA angka 1 diceritakan bahwa undang-undang agraria nasional semestinya mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yakni Ketuhanan Apabila Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta terutama semestinya yakni cara kerja dari pada ketetapan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Baca Juga : Bhineka Tunggal Ika
Hukum agraria dalam UUPA yakni untuk membatasi pemilikan dan memimpin penggunaannya, semestinya yakni perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan yakni cara kerja dari UUD 45 dan GBHN. Undang-undang agraria UUPA semestinya meletakkan dasar bagi Hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian undang-undang bagi bangsa dan negara