Peta Pikiran, Sejarah, Tujuan, Dan Dampak Isi Perjanjian Roem Royen
Apa itu Perjanjian Roem Royen? Perjanjian Roem Royen yaitu perjanjian antara Indonesia dan Belanda pada 14 April 1949 yang membahas wacana penyelesaian permasalahan antara kedua negara sebelum konferensi meja bulat di Hotel Des Indes, Jakarta. Perwakiland dari pihak Indonesia adla Mohammad Roem dan dari pihak Belanda yaitu Herman van Royen. PBB yaitu dalang dibalik berhasilnya negosiasi antara Indonesia dan Belanda.
Isi Perjanjian Roem Royen – Akhirnya titik jelas dalam sengketa penyelesaian konflik antara pihak Indonesia-Belanda terlihat. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak bersedia untuk maju ke meja perundingan. Keberhasilan membawa problem Indonesia-Belanda ke meja negosiasi tidak terlepas dari inisiatif komisi PBB untuk Indonesia.
Pada tanggal April 4 April 1949 dilaksanakan negosiasi di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota komisi dari Amerika serikat. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem.
Dalam negosiasi Roem Royen, pihak Republik Indonesia tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka untuk negosiasi selanjutnya. Sebaliknya, pihak Belanda menuntut penghentian perang gerilya oleh Republik Indonesia.
Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949 berhasil dicapai persetujuan antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia. Kemudian disepakati kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal 28 Januari 1949 dan persetujuan pada tanggal 23 Maret 1949.
Pernyataan pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh Ketua Delegasi Indonesia Mr. Mohammad Roem yang berisi antara lain sebagai berikut.
Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
Kedua belah pihak bekerja sama dalam hai mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan serta ketertiban.
Belanda turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat.
Pernyataan Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain sebagai berikut.
Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan kewajiban dalam satu kawasan yang mencakup Karesidenan Yogyakarta.Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan semenjak tanggal 19 Desember 1948.
Pemerintah Belanda menyetujui bahwa Republik Indo-nesia akan menjadi bab dari Republik Indonesia Serikat (RIS).Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Dampak Perjanjian Roem Royen
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda.
Sementara itu, pihak Tentara Nasional Indonesia dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya semoga tidak memikirkan masalah-masalah perundingan Perjanjian Roem Royen.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan semoga para komandan lapangan mampu membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada umumnya kalangan Tentara Nasional Indonesia tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, alasannya yaitu selalu merugikan usaha bangsa Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan negosiasi segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.
Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Pasca Perjanjian Roem Royen
Setelah tercapainya negosiasi Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.
Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam siding tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan.
Latar Belakang Perjanjian Roem Royen
Diselenggarakannya perjanjian Roem Royen dilatar belakangi adanya serangan Belanda ke Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI, serta menerima kecaman dari dunia Internasional. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Belanda melaksanakan propaganda bahwa Tentara Nasional Indonesia sudah hancur, disinilah Belanda menerima kecaman dunia Internasional terutama negara Amerika Serikat.
Baca Juga : Kekerasan
Perjanjian Roem Royem diadakan pada 14 April hingga 7 Mei 1948 dengan perwakilan pihak Indonesia yaitu Moh. Roem serta beberapa anggota mirip Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Pro. Supomo serta Latuharhary. Sedangkan dari pihak Belanda yaitu Dr.J.H. Van Royen dengan anggotanya Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan serta Dr. Gieben.
Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan Belanda terhadap Indonesia dikecam oleh Amerika Serikat, Inggris dan Dewan PBB sehingga PBB mengeluarkan kewenangan KTN. Sejak itulah KTN menjelma UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan dibantu oleh Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia.
Pada 23 Maret 1949 pihak DK-PBB memerintahkan UNCI untuk membantu melaksanakan negosiasi antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda. Pada 17 April 1949 negosiasi Roem Royem di mulaidi Jakarta. UNCI menjadi penengah dalam negosiasi ini yang diketuai pihak UNCI oleh Merle Cochran dari Amerika.
Pada negosiasi selanjutnya, Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs. Moh. Hatta serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pada 7 Mei 1949 perjanjian Roem Royen ditandatangani dengan nama perjanjian meyesuaikan kedua ketua delegasi yaitu Mohammad Roem dan Herman van Royen di Hotel Indes, Jakarta.
Perundingan sangat alot dan perlunya menghadirkan Drs. Moh. Hatta dari pengasingan di Bangka dan juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Adanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempertegas adanya Republik Indonesia di Yogyakarta.
Isi Perjanjian Roem Royen
Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan kegiatan gerilya
Isi Perjanjian Roem Royen
Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
Kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta
Tentara bersenjata Belanda harus menghentikan operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik
Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat
Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bab dari Republik Indonesia Serikat
Belanda menawarkan hak, kekuasaan serta kewajiban kepada pihak Indoneisa
Dampak adanya penjanjian ini yaitu kembalinya Presiden Soekarno dan Hatta ke Yogyakarta setelah diasingkan, Yogyakarta menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.
Demikianlah Artikel Perjanjian Roem Royen
Sekianlah artikel Perjanjian Roem Royen kali ini, mudah-mudahan mampu memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, hingga jumpa di postingan artikel lainnya.