Prasasti, Politik, Peninggalan, Raja, Masa Kejayaan Dan Sejarah Kerajaan Tarumanegara Dari Awal Sampai Runtuhnya
Kerajaan Tarumanegara ialah kerajaan hindu beraliran wisnu yang terletak di wilayah Jawa Barat, dengan pusat kerajaan terletak di sekitar kawasan Bogor. Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara mencakup kawasan Banten, Jakarta, hingga perbatasan Cirebon, sehingga mampu diartikan bahwa pada masa pemerintahan Raja Purnawarman wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara hampir menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma yaitu sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada era ke-4 hingga era ke-7 M, dengan sentra kerajaan terletak di Sundapura (dekat Tugu dan Bekasi).
Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang banyak meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada ketika itu Kerajaan Taruma yaitu kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara meliputi kawasan Banten, Jakarta, hingga perbatasan Cirebon, sehingga mampu diartikan bahwa pada masa pemerintahan Raja Purnawarman wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara hampir menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.
Etimologi dan Toponimi
Kata Tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai (Ci) yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.
Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang populer di Punjab, yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati (wilayah Bekasi). Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menjadikan tafsiran dari para sarjana salah satunya berdasarkan Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari wacana istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
Awal Sejarah
Informasi yang didapat dari naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:
Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta kemudian menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh lantaran itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.
Perang itu terjadi pada tahun 267 Saka (345 Masehi). Adapun maharaja Maurya itu, bergelar Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan Raja Calankayana, bergelar Maharaja Hastiwarman dan Raja Pallawa, bergelar Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat bersahabat dan bersatu, kemudian bersama‑sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan.[6]
Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas, lantaran sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang‑orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan perang.
Oleh lantaran itu, di kota‑kota negara yang kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan atau gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.
Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak sehabis menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke aneka macam negara, terutama yang dahulu menjadi teman keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), alhasil banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.[6]
Naskah Wangsakerta
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon, Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395 M). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk laki-laki dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi ke pulau‑pulau di sebelah selatan, lantaran pihak musuh, selalu berusaha menangkap mereka.
Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Sungai Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk kawasan kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.[6]
Kira-kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, lantaran banyak penduduk dari desa-desa lain, tiba dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, hingga menjadi sebuah kerajaan, kemudian diberi nama: Tarumanagara. la kemudian menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi Raja Tarumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 hingga 304 Saka (358‑382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang berjulukan Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia bergelar demikian, lantaran selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu).[6]
Tetapi penduduk di desa‑desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) berdasarkan adat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa‑desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh lantaran itu, Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.
Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra. Dengan demikian, penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya ‑ Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.
Darmayawarmanguru menjadi Raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 hingga tahun 317 Saka (382-395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), lantaran ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang berjulukan Sang Purnawarman, yang memerintah dari tahun 317 hingga tahun 356 Saka (395‑434 Masehi).[6]
Relief TarumanagaraPurnawarman, dilahirkan tanggal 8 potongan gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diangkat sebagai Raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 potongan terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa sehabis turun tahta hingga maut tiba).
Tindakannya yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang gres itu, diberi nama Sundapura (kota Sunda), dibangun di tepi kali Gomati pada tahun 397 M.
Kira‑kira tiga tahun sehabis ia dinobatkan, Purnawarman menciptakan pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 potongan terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 potongan terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Tarumanagara.[6]
Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu mampu dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai aneka macam ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja).
Tidak ada satupun senjata musuh yang mampu melukainya, lantaran dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala hingga ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).
Pada tahun 417 M, ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 12 km). Selesai penggalian, sang maharaja mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.
Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawarman, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan gelar: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi Raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 potongan terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).[6]
Digantikan oleh puteranya, Sang Indrawarman, sebagai Raja Tarumanagara kelima, dengan gelar: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Candrawarman, sebagai Raja Tarumanagara keenam, dengan gelar: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).[6]
Digantikan oleh puterannya, Sang Suryawarman, sebagai Raja Tarumanagara ketujuh, dengan gelar: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan insiden pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibentuk pada tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara yaitu Suryawarman (535-561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) menawarkan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa kawasan yang mendapatkan kembali kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melaksanakan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.[1]
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang menawarkan kepercayaan lebih banyak kepada raja kawasan untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke kawasan potongan timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan gres di Kendan, kawasan Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan kawasan timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Suryawarman digantikan oleh puteranya, Sang Kretawarman, sebagai Raja Tarumanagara kedelapan, dengan gelar: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).[6]
Karena tidak punya keturunan, Kretawarman digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai Raja Tarumanagara kesembilan, dengan gelar: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Dewamurti, sebagai Raja Tarumanagara kesepuluh, dengan gelar: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).
Digantikan oleh puteranya, Sang Nagajaya, sebagai Raja Tarumanagara kesebelas, dengan gelar: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).[6]
Digantikan oleh puteranya, Sang Linggawarman, sebagai Raja Tarumanagara keduabelas, dengan gelar: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).
la digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan gelar; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 potongan terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.[6]
Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan kawasan Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan batas sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.
Mengingat kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten (Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi Tarumanagara.[6]
Berita dari China
Berita dari Cina, menyebutkan bahwa seorang pendeta yang berjulukan Fa Hien terdampar di pantai utara Pulau Jawa (414 M) ketika ia hendak kembali dari India ke Negeri asalnya di China. Dalam catatan perjalanan Fa Hien, ia menyebutkan bahwa di kawasan pantai utara Pulau Jawa potongan barat telah ditemukan masyarakat yang mendapat efek Hindu India. Masyarakat yang ditemukan diperkirakan menjadi potongan masyarakat Kerajaan Tarumanegara.[2]
Dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi, Fa Hien menceritakan bahwa di Ye-po-ti (Jawadwipa) hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Budha, yang banyak yaitu orang-orang yang beragama Hindu dan “beragama kotor” (maksudnya animisme).
Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti yaitu Way Seputih di Lampung, di kawasan anutan way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang kini terletak di taman purbakala Pugung Raharjo.
Meskipun ketika ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yangg membuktikan kawasan tersebut dulu yaitu kawasan pantai persis penuturan Fa hien.
Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah tiba utusan dari To-lo-mo (“Taruma”) yang terletak di sebelah selatan.
Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah tiba utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga info di atas para hebat menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis adaptasi kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka mampu diketahui beberapa aspek kehidupan wacana kerajaan Taruma.
Wilayah Kekuasaan Tarumanagara
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu yaitu Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman berdasarkan prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.[1]
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon menawarkan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang memperlihatkan bahwa wilayah kekuasaannya meliputi pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159-162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja kawasan yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di kawasan Teluk Lada, Pandeglang) hingga ke Purbalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Peta Wilayah Kekuasaan Tarumanagara
Wilayah Tarumanagara. Gambar: Gunawan Kartapranata
Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya: Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidanghiang, Lebak Munjul, Pandeglang, info wacana Banten mampu lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari era V, bertuliskan abjad Pallawa dengan bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan ini yaitu Purnawarman. Ini berarti bahwa kawasan kuasa Tarumanagara hingga juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993: 37).[6]
Menurut Naskah Wangsakerta, pada ketika Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, yaitu sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).
Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Kehidupan Politik
Berdasarkan goresan pena yang terdapat pada prasasti-prasasti, diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanyalah Raja Purnawarman. Bahkan, raja-raja yang memerintah sebelum Raja Purnawarman belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bukti yang menjelaskan mengenai raja-raja yang memerintah selain Raja Purnawarman.
Raja Purnawarman yaitu raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyat Kerajaan Tarumanegara. Hal ini mampu dibuktikan dari Prasasti Tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali satu jalan masuk air. Penggalian jalan masuk air ini sangat besar artinya, lantaran jalan masuk air ini mampu mempermudah jalur air persawahan rakyatnya.[2]
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.[5]
Kehidupan Ekonomi
Prasasti Tugu menyatakan bahwa raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membangun jalan masuk air di Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau sekitar 12 km. Pembangunan terusan ini memiliki arti hemat yang besar bagi masyarakat, Karena mampu dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir disaat trend penghujan. Selain itu juga dipakai sebagai irigasi pertanian serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar dan daerah-daerah di sekitarnya.[5]
Kehidupan Budaya
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, mampu diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada ketika itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, eksistensi prasasti-prasasti tersebut memperlihatkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan Tarumanegara
Tarumanegara merupakan kerajaan yang pernah berkuasa di Jawa Barat pada era ke 4 hingga era ke 7 masehi dan merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Tarumanegara merupakan kerajaan bercorak Hindu terutama fatwa Hindu Wisnu.
Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada 358 dan selanjutnya digantikan oleh anaknya, Dharmayawarman (382-395). Raja ketiga Tarumanegara ialah Purnawarman (395-434) yang pernah menciptakan kota kerajaan gres di kawasan pantai yang kemudian disebut dengan Sundapura, inilah kali pertama nama Sunda disebut. Purnawarman memerintah untuk melaksanakan penggalian Sungai Gomati dan Sungai Candrabaga pada 417 M, dengan panjang 6112 tombak atau 11 km. Ketika penggalian sungai terselesaikan, raja Purnawarman menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.
Di dalam Prasasti Pasir Muara menyebutkan adanya insiden pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda yitu pada tahun 536 M. Pada masa tersebut, raja yang memerintah Tarumanegara ialah Suryawarman (535 – 561 M) yang merupakan raja ke 7 Tarumanegara. Sebelumnya pada masa pemerintahan ayah Suryawarman yaitu Candrawarman, banyak kawasan kekuasaan Tarumanegara dikembalikan pada raja setempat. Hal itu merupakan hadiah atas kesetiaan dari raja – raja bawahan kepada Tarumanegara. Politik pengembalian wilayah kekuasaan ini kemudian dilanjutkan oleh Suryawarman.
Pada Prasasti Purnawarman di Pasir Muara menyebutkan bahwa adanya raja Sunda pada 536 M, hal ini memperkuat dugaan bahwa Sunda berubah dari sebelumnya sebuah kawasan biasa menjadi sebuah kerajaan daerah. Dengan adanya pernyataan ini berarti pusat Kerajaan Tarumanegara berpindah ke tempat lain. Selain melanjutkan politik ayahnya yang menyerahkan sepenuhnya wilayah kawasan bawahan kepada kepala kawasan terkait, Suryawarman juga mengalihkan perhatiannya ke kawasan pecahan timur.
Pada 526 M, Manikmaya yang merupakan menantu dari Suryawarman mendirikan kerajaan di Kendan, kawasan Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Manikmaya yang memerintah kerajaan tersebut didampingi oleh kakeknya di ibukota Tarumanegara dan kemudian diangkat menjadi panglima angkatan Tarumanegara. Pada perkembangannya kawasan timur lebih berkembang di bawah pemerintahan cicit Manikmaya dan kemudian dikenal dengan Kerajaan Galuh pada 612 M.
A. Sumber – Sumber Sejarah
Keberadaan Tarumanegara mampu diketahui dari sumber sejarah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berasal dari prasasti yang ditemukan di Bogor sebanyak empat buah, di Jakarta satu buah serta di Lebak Banten satu buah. Sedangkan sumber dari luar negeri berasal dari gosip Tiongkok oleh para pengelana, diantaranya :
Berita Fa Hien yang berangka tahun 414 M, dalam catatannya yang berjudul Fa-Kao-Chi menyebutkan adanya kawasan Ye-Po-Ti terdapat orang – orang beragama Hindu dan sebagian beragama animisme.
Berita Dinasti Sui, yang menyebutkan pada periode 528 dan 535 M utusan dari To-Lo-Mo yang terletak di selatan (Cina) tiba ke Tiongkok
Berita Dinasti Tang, yang menyebutkan bahwa pada 666 dan 669 M tiba utusan dari To-Lo-Mo
Dari gosip tersebutdapat disimulkan bahwa kata To-Lo-Mo mengerucut pada Tarumanegara atas pembiasaan fonetis. Hal ini mampu disimpulkan bahwa Kerajaan Tarumanegara berkembang dari tahun 400 hingga 600 M.
Sumber – sumber peninggalan Tarumanegara yang berupa prasasti
- Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau dikenal juga sebagai Prasasti Ciampea ditemukan di Sungai Ciaruteun. Prasasti ini memakai huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta, terdiri dari 4 baris yang disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Selain itu juga terdapat lukisan keuntungan – keuntungan dan telapak kaki Raja Purnawarman. Bentuk telapak kaki Purnawarman yang ada di Prasasti Ciaruteun mempunyai arti perlambang wilayah kekuasaan dan perlambang penghormatan kepada dewa. Purnawarman diibaratkan sebagai Dewa Wisnu yang merupakan yang kuasa penguasa sekaligus pelindung rakyat. - Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau juga disebut Koleangkak ditemukan di bukit Koleangkak di kawasan perkebunan yang berarak 30 km dari Bogor ke arah barat.Prsasti Jambu memakai huruf Pallawa dan terdapat gambar telapak kaki. Isi dari Prasasti Jambu ialah pemujaan kepada raja Purnawarman. - Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang Bogor. Pada prasasti ini terdapat telapak kaki gajah yang kemudian dikaitkan dengan kaki gajah Airawata atau tunggangan yang kuasa Wisnu.
- Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan di Bogor yang ditulis dalam huruf ikal yang belum mampu dibaca. Di prasasti ini juga terdapat lukisan telapak kaki. - Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di puncak perbukitan Pasir Awi dengan ketinggian 600 mdpl, Bojong Honje- Sukamakmur Bogor. - Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang atau disebut juga Prasasti Lebak ditemukan di wilayah kampung Lebak di tepi sungai Cidanghiyang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1947 dan hanya berisi dua baris kalimat yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi dari Prasasti Cidanghiyang ialah mengagungkan keberanian raja Purnawarman. - Prasasti Tugu
Prasasti Tugu ditemukan di kawasan Tugu, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini berisi perintah untuk membangun sungai Gomati dengan panjang 11 km dalam 21 hari. Setelahnya raja Purnawarman menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
B. Kehidupan Kerajaan Tarumanegara
Kehidupan Politik
Pada aspek politik mampu diketahui dari Prasasti Tugu bahwa Raja Purnawarman merupakan raja besar yang telah meningkatkan kehidupan rakyatnya dengan mengadakan penggalian kali Gomati. Perintah penggalian kali ini memberikan bahwa konsentrasi dari Raja Purnawarman ialah pengairan sawah – sawah untuk rakyatnya.
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial di Tarumanegara umumnya sudah teratur. Hal ini mampu dilihat dari adanya upaya dari Purnawarman yang berupaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Selain itu raja Purnawarman juga memperhatikan brahmana sebagai utusan dari yang kuasa dengan memberi penghormatan berupa sedekah 1.000 ekor sapi.
Kehidupan Ekonomi
Di dalam Prasasti Tugu menjelaskan adanya pembangunan Sungai Gomati yang mempunyai panjang 12 km. Hal ini mempunyai arti hemat bagi masyarakat, lantaran dengan dibangunnya Sungai Gomati mampu dipergunakan sebagai sarana pencegahan banjir, irigasi, serta kemudian lintas pelayaran antar wilayah Tarumanegara ataupun dengan wilayah luar.
Kehidupan Budaya
Apabila dilihat dari adanya bukti sejarah berupa prasasti – prasasti yang ditemukan di Tarumanegara, maka mampu disimpulkan bahwa Tarumanegara mempunyai tingkat kebudayaan masyarakat yang tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, adanya prasasti tersebut juga memberikan sudah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di Kerajaan tarumanegara.
C. Raja – Raja Kerajaan Tarumanegara
No Nama Raja Masa Pemerintahan
Raja Raja Kerajaan Tarumanegara
1 Jayasingawarman 358 hingga 382
2 Dharmayawarman 382 hingga 395
3 Purnawarman 395 hingga 434
4 Wisnuwarman 434 hingga 455
5 Indrawarman 455 hingga 515
6 Candrwarman 515 hingga 535
7 Suryawarman 535 hingga 561
8 Kertawarman 561 hingga 628
9 Sudhawarman 628 hingga 639
10 Hariwangsawarman 639 hingga 640
11 Nagajayawarman 640 hingga 666
12 Linggawarman 666 hingga 669
D. Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara mencapai masa keemasan pada pemerintahan Purnawarman yang ditandai oleh kekuasaan Tarumanegara yang mencapai seluruh Jawa Barat ketika ini. Selain itu juga diperkuat adanya Prasasti Ciaruteun yang berisi “Ini (bekas) dua kaki, yang mirip kaki Dewa Wisnu ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Pada masa keemasan Tarumanegara ini, perkembangan pesat dalam hal wilayah kekuasaan ditandai oleh dikuasainya kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Tarumanegara. Tarumanegara juga membangun Sungai Gomati dan Candrabaga sebagai media irigasi pertanian Tarumanegara. Pada aspek ekonomi ditandai oleh di sedekahkannya 1.000 ekor sapi kepada para brahmana.
E. Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Belum diketahui secara niscaya kapan runtuhnya Kerajaan Tarumanegara lantaran prasasti – prasasti Tarumanegara lebih banyak membahas wacana pemerintahan Purnawarman. Pemerintahan Tarumanegara sendiri berjalan oleh 12 raja. Raja terakhir dari Tarumanegara ialah Linggawarman yang mempunyai dua puteri,yaitu Manasih yang kelak diperistri Tarusbawa dari Kerajaan Sunda dan Sobakancana yang diperistri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri dari Sriwijaya.
Tahta Kerajaan Tarumanegara diberikan oleh suami dari Manasih yaitu Tarusbawa. Disinilah final dari kekuasaan Tarumanegara lantaran Tarusbawa lebih menentukan untuk kembali ke Kerajaan Sunda.
a . sumber sejarah
Sumber- sumber sejarah kerajaan Tarumanegara diperoleh dari gosip gila dan prasasti-prasasti. Berikut penjelasannya:
Berita Asing,
yaitu gosip dari Cina. Dari zaman Dinasti T’ang menyebutkan bahwa seorang pendeta yang berjulukan Fa Hien terdampae di pantau utara Pulau Jawa (414M) ketika ia hendak kembali dari India ke Negeri asalnya di Cina. Dalam catatan perjalanan Fa Hien, ia menyebutkan bahwa di kawasan pantai utara Pulau Jawa pecahan barat telah ditemukan masyarakat yg menerima efek Hindu India. Masyarakat yang ditemukan diperkirakan menjadi pecahan masyarakat Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti
Berikut beberapa Prasasti yang mengambarkan eksistensi Kerajaan Tarumanegara:
- Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor)
- Prasasti Kebon Kopi (Bogor)
- Prasasti Jambu (Bogor)
- Prasasti Muara Cianten (Bogor)
- Prasasti Tugu ( Jakarta Utara)
- Prasasti Pasir Awi ( Leuwiliang)
- Prasasti Munjul (Banten) Pada prasasti-prasasti tersebut dipakai bahasa Sansekerta dan Pallawa. Namun, lantaran pada prasasti tidak ditemukan angka tahun, maka untuk menentukan tahun goresan pena itu dilakukan perbandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di India. Dari perbandingan tersebut, diperkirakan prasasti itu ditulis pada era ke-5 M.
Kehidupan Politik
Berdasarkan goresan pena yang terdapat pada prasasti-prasasti, diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanyalah Raja Purnawarman. Bahkan, raja-raja yang memerintah sebelum Raja Purnawarman belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bukti yang menjelaskan mengenai raja-raja yang memerintah selain Raja Purnawarman.
Baca Juga : Kerajaan Kediri
Raja Purnawarman ialah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyat Kerajaan Tarumanegara. Hal ini mampu dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali satu jalan masuk air. Penggalian jalan masuk air ini sangat besar artinya, lantaran jalan masuk air ini mampu mempermudah jalur air persawahan rakyatnya.