Contoh, Faktor, Penyebab, Dampak Dan Pengertian Etnosentrisme Menurut Para Ahli
Etnosentrisme yaitu persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya yaitu yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia
Salah satu faktor yang fundamental yang menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di Bangsa ini yaitu budaya politik masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak rasionalis.
Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain. Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
Salah satu faktor yang juga menjadi penyebab munculnya masalah etnosentrisme yaitu pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari banyak sekali suku, agama, ras dan golongan.
Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan banyak sekali persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain.Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di daerah.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia
Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia yaitu sikap carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok yaitu tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria apabila harga dirinya merasa terusik.
Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai sikap yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menuntaskan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk nalar dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Etnosentrisme yaitu sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya ajaib dengan budayanya sendiri (The Random Dictionary).
Ketika suku bangsa yang satu menganggap suku bangsa yang lain lebih rendah maka sikap demikian akan mengakibatkan konflik. Konflik tersebut, contohnya masalah sara, yaitu kontradiksi yang didasari oleh suku, agama, ras, dan antargolongan. Dampak negatif yang lebih luas dari sikap etnosentrisme antara lain:
a. Mengurangi keobjektifan ilmu pengetahuan
b. Menghambat pertukaran budaya
c. Menghambat proses asimilasi kelompok yang berbeda
d. Memacu timbulnya konflik sosial
Di sisi yang lain, kalau dilihat dari fungsi sosial, etnosentrisme sanggup menghubungkan seseorang dengan kelompok sehingga sanggup mengakibatkan solidaritas kelompok yang sangat kuat. Dengan mempunyai rasa solidaritas, setiap individu akan bersedia menunjukkan pengorbanan secara maksimal. Sikap etnosentrisme diajarkan kepada kelompok bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Salah satu bukti adanya sikap etnosentrisme yaitu hampir setiap individu merasa bahwa kebudayaannya yang paling baik dan lebih tinggi dibanding dengan kebudayaan lainnya, misalnya:
a. Bangsa Amerika gembira akan kekayaan materinya
b. Bangsa Mesir gembira akan peninggalan kepurbakalaan yang bernilai tinggi
c. Bangsa Prancis gembira akan bahasanya
d. Bangsa Italia gembira akan musiknya
Etnosentrisme terjadi kalau masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap yaitu etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin bersahabat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.” Etnosentrisme menciptakan kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri. Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita yaitu sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan berguru dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang besar lengan berkuasa dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak bisa melihat human encounter sebagai peluang untuk saling berguru dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang bisa menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu bisa berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin mempunyai daya tarik lantaran faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil menunjukkan klarifikasi sederhana yang cukup menyenangkan ihwal tanda-tanda sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih sanggup diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, menurut latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Dampak positif dari etnosentrisme yaitu sanggup mempertinggi semangat patriotisme, menjaga keutuhan dan stabilitas kebudayaan, serta mempertinggi rasa cinta pada bangsa sendiri.
Menurut saya, kita sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya meniadakan sifat etnosentrisme di kehidupan diri kita, kita dilarang memandang negara lain leih jelek dari kita, mari kita membuka pandangan seluas-luasnya, kalau negara lain lebih maju dari kita, mari kita akui saja mereka lebih maju, jadikan mereka sebagai pacuan biar kita sanggup menyaingi kemajuan negara tersebut.
Oleh lantaran itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya lantaran tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya sikap carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya sikap carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh para hebat ilmu sosial.
Contoh yang lain yaitu kebiasaan menggunakan koteka bagi masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang dari sudut masyarakat yang bukan warga papua pedalaman, menggunakan koteka mungkin yaitu hal yang sangat memalukan. Tapi oleh warga pedalaman papua, menggunakan koteka dianggap sebagai suatu kewajaran, bahkan dianggap sebagai suatu kebanggaan.