Tujuan, Contoh, Etika Manfaat Dan Pengertian Moral Pada Kecerdasan Anak Menurut Para Ahli
Kecerdasan Moral – Kecerdasan moral yaitu kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah. Artinya, mempunyai keyakinan etika yang berpengaruh dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan terhormat.
Kecerdasan yang sangat penting ini meliputi abjad utama, mirip kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat; bisa mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan; mendengarkan dari banyak sekali pihak sebelum menyampaikan penilaian; mendapatkan dan menghargai perbedaan; bisa memahami pilihan yang tidak etis; sanggup berempati; memperjuangkan keadilan; dan memperlihatkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain.
Dalam hal ini nilai dan filosofi turut berperan. Penilaian kita menjadi dasar dalam percaya dan menentukan tindakan. Filosofi merupakan jalan bagi kita untuk menentukan nilai. Filosofi yang cerdas merupakan keinginan untuk memahami manusia, benda, dan dunia melalui rangkaian kata yang menggambarkan bagaimana mereka bekerja dengan demikian menyediakan suatu keamanan emosional dalam meramalkan masa depan. Manusia dengan filosofi mempercayakan pada nalar dalam menciptakan keputusan, dan menaksirkan harga dari sesuatu melawan “kode” yang fundamental atau mengatur garis pedoman yang mengakibatkan ketegangan.
Manusia dengan pandangan ini mempercayakan pada kesadaran persaingan, terkadang pada wewenang sosial yang terpisah. Anda mungkin pernah mendengar perkataan seseorang dengan filosofi yang cerdas, contohnya: “jika anda mempunyai solusi yang luwes, orang lain akan mempercayainya. Tidak perlu mencoba untuk meyakinkan mereka mengenai kebaikannya.” Mereka sanggup memakai sebuah gaya kemimpinan, jikalau visi yang digambarkan menjadi penyebab yang baik di masa depan.
Dalam hipotesa penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hal lebih fundamental dari kemampuan kecerdasan emosional. Hal tersebut tampak semacam kompas moral. Hal tersebut merupakan jantung dari kesuksesan bisnis yang berjalan lama.
“Sesuatu yang lebih” ini dinamakan kecerdasan moral (moral intelligence). Kecerdasan moral merupakan kapasitas mental untuk menentukan bagaimana prinsip umum insan yang harus digunakan pada nilai, tujuan, dan tindakan. Istilah yang mudah, kecerdasan moral merupakan kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah mirip yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan kepercayaan mengenai tingkah laris insan secara umum pada seluruh budaya di dunia.
Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan, namun juga merupakan “pusat kecerdasan” bagi seluruh manusia. Mengapa? Karena kecerdasan moral secara pribadi mendasari kecerdasan insan untuk berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral menyampaikan hidup insan mempunyai tujuan.
Tanpa kecerdasan moral, kita tidak sanggup berbuat sesuatu dan peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman jadi tidak berarti. Tanpa kecerdasan moral kita tidak akan tahu mengapa pekerjaan yang kita lakukan? Dan apa yang harus dikerjakan?
DILAHIRKAN UNTUK BERMORAL
Seorang pemimpin yang terbaik berpikir “kita”, bukan “saya”. Suatu hal yang sederhana, dimana orang yang baik mempunyai moral yang merupakan tabiat bawaan semenjak lahir. Mereka mengikuti sebuah kompas moral walaupun terdapat godaan. Mereka menentukan yang benar dari yang salah.
Orang baik dan pemimpin yang baik merupakan belahan dari nilai moral. mereka percaya terhadap kejujuran dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka turut berduka terhadap penderitaan orang lain dan tahu bagaimana harus memaafkan mirip pentingnya dirinya sendiri.
Pemimpin yang baik bukanlah sebuah fungsi dari beberapa talenta yang jarang digunakan untuk menginspirasi orang lain. Salah satu dari kita sanggup menjadi orang baik dan pemimpin yang baik dikarenakan kita terikat berpengaruh dengan moral. Kita terlahir pada jalan itu. Melihat sekilas pada pokok gosip di koran mungkin akan menciptakan kita sulit untuk mempunyai kepercayaan yang kuat, namun inilah alasan mengapa kita berpikir hal itu.
Untuk mempunyai moral toleransi, pertama kita memerlukan kemampuan untuk melihat dunia melalui pandangan mata orang lain. Banyak psikolog mempercayai bahwa indikasi awalnya yaitu empati. Sejak berumur dua tahun, kita mulai memperlihatkan celah keadilan, tanggung jawab, dan merasa bersalah. Kita semua pernah mendengar bawah umur menginjak umur tiga atau empat menanggapi kenyataan atau khayalan keadilan dengan sebuah empati, “That’s not fair!”. Banyak dari kita memulai pada usia dini untuk melaksanakan sesuatu yang kita tahu akan menciptakan kecewa orang lain.
Melakukan hal yang negatif merupakan belahan penting dari mencar ilmu mempunyai moral. jikalau kita tidak melaksanakan sesuatu yang buruk, akan sulit bagi kita untuk mengerti perbedaan antara tingkah laris benar dan salah. Pikirkan waktu kemudian yang sanggup anda ingat ketika anda melaksanakan suatu kesalahan. Berapa usia anda? Apa yang anda lakukan? Bagaimana anda tahu itu sesuatu yang salah? “golden rule” – perlakukan orang lain mirip anda ingin diperlakukan. Pikirkan orang lain. Jangan melaksanakan sesuatu yang menyakiti orang lain. Katakan yang sebenarnya.
Kita memelihara proses alami dari perkembangan moral hingga kita melihat sebuah situasi dimana hal itu tidak terjadi. Itu tidak sanggup terjadi, sebagai contoh, jikalau kita terlahir dengan problem neurologika yang pasti. Perkembangan moral tentu akan terus berjalan jikalau perhatian kita tidak diinginkan atau menyediakan hal yang benar dari pengasuhan di masa lalu.
Orang bau tanah kita tidak perlu sempurna. Mereka hanya perlu “cukup baik” untuk bersikap kepada kita sepanjang waktu. Mereka perlu tetap mensugesti dan percaya. Mereka harus memperlihatkan kepada kita bagaimana untuk menjadi empati, dan mereka membantu kita untuk membangun kepercayaan yang positif terhadap diri kita sendiri.
Ilmuwan yang mempelajari kekerabatan antara fungsi otak dan tingkah laris memulai dengan sketsa “anatomi moral” dari otak.
Mereka mempelajari bagaimana otak memberi dampak pada tingkah laris moral. Sebagian dari kita mengetahui apa yang benar, terkadang berjuang untuk melaksanakan apa yang kita ketahui benar – ketika kita kekurangan kompetensi moral untuk bertindak selaras dengan pedoman moral. Peneliti telah menemukan bahwa otak kita menciptakan perbedaan. Ketika ilmu syaraf dibandingkan dengan tingkah laris dari dua remaja yang merasa menderita luka-luka otak, mereka menemukan sebuah perbedaan tajam dalam kapasitas luka mereka.
Jika benar bahwa kita mempunyai kekerabatan untuk mengikuti Golden Rule, lantas bagaimana kita sanggup menjelaskan semua kekerasan yang terjadi? Kita sanggup mencoba menulis kejahatan dan kekejaman sebagai mutasi dari sifat normal alami manusia. Kebanyakan dari kita, bagaimanapun juga menyadari bawa terdapat sisi gelap dalam diri kita. Dengan menyeimbangkan laju persaingan dan mengatur sisi gelap dari diri kita merupakan pokok dari kecerdasan moral.
Memilih diantara keinginan-keinginan bersaing merupakan pokok dari kesusilaan. Tidak ada kesusilaan tanpa pilihan. Membuat keputusan antara laju persaingan mewajibkan kita untuk menciptakan pilihan-pilihan moral. Hal ini merupakan kecerdasan moral, kemampuan untuk menyeimbangkan laju persaingan, yang menciptakan kita sebagai insan yang sesungguhnya.
Penting bagi kita untuk menaruh perhatian pada prinsip-prinsip moral yang kita pegang. Bukan berarti kita berpikir setiap orang harus mempercayai moral yang sama.
Namun kita berpikir eksistensi prinsip-prinsip moral secara umum yang menyampaikan bukti moral. Di samping implikasi biologis, eksistensi prinsip-prinsip moral kemungkinan keinginan terbaik untuk memperjuangkan dan memajukan sebuah komunitas global. Jika semua orang di bumi membagikan sebuah daftar kecil dari prinsip-prinsip kritis, bahu-membahu kita akan menciptakan keputusan yang lebih baik yang sanggup menentukan usaha dari planet.
Pada akhirnya, ditulis oleh psikolog Martin Seligman dan rekan kerjanya dalam lingkup “positif psikologi” mempunyai penilitian yang membawa mereka pada enam identifikasi “nilai-nilai umum” dalam semua budaya di dunia: harapan, keberanian, perikemanusiaan, keadilan, kesederhanaan, dan transenden.
Walaupun labelnya mengubah berpengaruh sikap yang melalaikan dan masing-masing budaya kemungkinan menjelaskan prinsip-prinsip yang berbeda, moral yang mendasari pengertian, selalu sama. Kita mempercayai eksistensi prinsip-prinsip umum, walaupun kita tahu prinsip-prinsip umum tersebut tidak tersebar secara keseluruhan. Kita percaya bahwa kita dalam keselarasan dengan prinsip-prinsip sangat penting bagi usaha individu, organisasi dan kesuksesan.
PEDOMAN KECERDASAN MORAL
PEDOMAN KECERDASAN MORAL
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa semenjak lahir kita telah mempunyai “bakat” bermoral. Namun talenta saja tidaklah cukup. Kemantapan antara bakat, kemampuan, dan tindakan merupakan hal yang mendukung menuju tercapainya tujuan. Hal tersebut disebut dengan “keselarasan hidup”. Menggapai keselarasan hidup mungkin terkadang sulit, namun hal itu tidak memaksakan kita untuk melaksanakan tindakan yang superhuman. Hanya dibutuhkan langkah yang konsisten dari hari ke hari, apa yang harus kita lakukan, apa yang kita perlukan untuk meraih tujuan. keselarasan hidup juga bukan merupakan suatu kebetulan. Keselarasan hidup dibutuhkan dalam melaksanakan sesuatu pada tujuan dan untuk sebuah tujuan. Bagaimana untuk memulainya? Keselarasan hidup mempunyai dua proses.
Proses pertama, bangkit model pandangan pribadi anda:
- Kompas moral – apa nilai anda, dan apa hal paling penting yang anda percayai?
- Tujuan – apa yang anda inginkan untuk menyempurnakan kepribadian dan profesionalitas anda?
- Tingkah laris – tindakan apa yang akan anda perbuat untuk menggapai tujuan anda?
Selanjutnya, sehabis membangun model keselarasan pribadi dan mengetahui apa yang pantas dalam “bingkai”nya masing-masing, lakukan yang terbaik untuk memperbaiki keselarasan diantara bingkai-bingkai moral.
Pedoman moral penuh dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan yang memandu aspirasi dan tindakan anda, setiap orang memilikinya. banyak orang berasumsi otak mereka utuh, terbangun sentra nilai-nilai kebaikan pada dikala berumur empat tahun. Setiap orang dengan sebuah fungsi otak yang normal dan mendekati pedoman moral setiap orang menunjang persamaan terhadap orang lain. Hal itu dikarenakan pedoman moral kita didasari luasnya prinsip-prinsip umum.
Tidak mirip prinsip umum, yang dikirimkan kepada setiap orang, nilai (value) bersifat individu. Terdapat alasan khusus untuk mengidentifikasikan nilai-nilai penting yang dimiliki. Values menolong insan untuk selektif mengenai bagaimana menghabiskan waktu yang berharga.
Saat values sanggup membantu menyampaikan yang benar dari yang salah, values juga menolong insan untuk menetapkan yang benar dengan dipandu pilihan-pilihan. Untuk menciptakan keputusan yang benar, perlu dipertimbangkan pilihan-pilihan penting dari nilai-nilai personal mirip kesehatan, perkembangan personal, petualangan, dan keluarga.
Pada dikala kita menciptakan keputusan yang tidak mempunyai beberapa belahan penting moral, mirip contohnya dikala menetapkan tujuan berlibur, kita mungkin menuruti keinginan kita untuk berpetualang tanpa pemikiran kedua.
Namun ketika kita menciptakan sebuah kesalahan yang melibatkan orang lain, mirip dalam masalah ketika mempertimbangkan kemajuan karir yang akan membawa dampak pada anggota keluarga. Dalam hal tersebut, kita harus menghormati prinsip tanggung jawab. Kita mungkin menyadari keinginan kita untuk berpetualang, tumbuh, atau akan tiba lebih banyak uang dalam yang merupakan harga sebuah tanggung jawab terhadap keluarga.
Sama dengan setiap belahan dari kepemimpinan yang efektif, pembuatan keputusan yang baik menjelaskan perihal nilai-nilai personal anda. Terkadang kita tidak secara tepat menilai apa yang kita katakan dan yang kita lakukan. Jika setiap waktu anda mendapatkan diri anda tidak konsisten dengan nilai-nilai, anda mempunyai sebuah pilihan.
Anda sanggup mencar ilmu untuk keselarasan tingkah laris yang lebih baik dengan nilai-nilai anda, membangun kompetensi moral dan emosional anda atau anda secara sederhana mendapatkan bahwa anda menilai sesuatu yang anda rasa tidak penting bagi anda. Hal ini tidak ada problem selama tindakan anda tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum.
Kepercayaan merupakan komponen ketiga dari sistem pemandu kita. Kepercayaan kita merupakan ringkasan khusus mengenai pandangan dunia pribadi kita. Kepercayaan memperlihatkan pengertian kita mengenai apa yang kita pikir penting dan bagaimana kita berpikir kekerabatan dalam diri kita mengenai dunia luar.
Kepercayaan menangkap daftar prinsip-prinsip dan nilai-nilai daam sebuah garis yang gampang untuk dikomunikasikan. Kepercayaan merupakan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai dan pengertian dari prinsip-prinsip terhadap diri kita dan orang lain. Mereka menghubungkan pengertian kita mengenai prinsip-prinsip dengan pilihan dari nilai-nilai.
Setiap pemimpin yang efektif mempunyai bola kristal tujuan yang jelas. Tujuan merupakan hal sangat penting bagi pemimpin yang efektif alasannya yaitu tujuan menggerakkan melebihi apa yang disadari atau tujuan yang baik terhadap tindakan yang spesifik. Pemimpin yang efektif mendapatkan tanggung jawab sebagai jalan mencapai tujuan.
Pemimpin yang efektif mempunyai tujuan yang sangat mereka perhatikan. Mereka juga membesarkan hati pengikut mereka untuk membangun kepribadian dan mencapai tujuan. Salah satu dari alat motivator yang terhandal dari pemimpin yang baik yaitu dengan memperlihatkan kepedulian terhadap apa yang diinginkan dan tujuan yang dimiliki oleh orang-orang yang bekerja dengannya.
Baca Juga: Mobile Legends
Tingkah laris meletakkan “hidup” dalam “kehidupan yang selaras”. Kebiasaan memperlihatkan apa yang dilakukan, termasuk pemikiran, emosi, dan tindakan yang diambil. Kebiasaan merupakan suatu hal yang menginspirasi insan untuk mengikuti pemimpin. Manusia tidak akan mengetahui anda sebagai pemimpin moral kecuali anda membicarakan mengenai tujuan hidup anda – dan bertindak secara serasi.
SELALU MENGACU PADA PEDOMAN MORAL
Pengertian Kecerdasan Moral
Kecerdasan moral merupakan belahan dari insan yang mempertajam pedoman moral insan dan memastikan bahwa tujuan konsisten dengan pedoman moral. Kompetensi moral merupakan kemampuan untuk bertindak berdasarkan prinsip moral kita. Kompetensi emosional merupakan kemampuan untuk mengatur emosi kita dan orang lain dalam situasi tuntutan moral. Tanpa kecerdasan moral tidak ada training yang akan membawa kita pada moral kepemimpinan, disebut juga dengan otak anak kecil yang terluka. Tidak peduli seberapa keras orang tuanya berusaha untuk mengisi nilai-nilai positif, mereka benar-benar kekurangan neurologika dasar, alat untuk membedakan antara benar dan salah.
Kecerdasan moral merupakan talenta dasar untuk gagasan moral dan tindakan. Kecerdasan moral mengijinkan kita untuk membuatkan nilai-nilai moral dan kepercayaan-kepercayaan serta mengintegrasikannya nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan tersebut ke dalam sebuah pedoman moral yang saling bertalian. Karena itu merupakan belahan dari kita yang mengetahui apa yang benar, kami menggunakannya untuk memastikan bahwa tujuan kita dan tinkah laris sejajar dengan pedoman moral. Seperti sebuah detektor asap, kecerdasan moral membunyikan alarm dikala tujuan dan tindakan keluar tidak sejalan dengan pedoman moral.
Kompetensi moral, dikala kecerdasan moral mengetahui apa yang harus dilakukan, kompetensi moral merupakan kemampuan dari melaksanakan tindakan yang benar. Bagaimana kita tahu bahwa apa yang kita tahu benar? Bagaimana kita tahu hal yang benar pada dikala kita merasa takut dan tertekan? Untuk itu, kita memerlukan kompetensi moral. Kita memerlukannya untuk memahami apa tujuan-tujuan yang sesuai dengan prinsip kita, dan kita memerlukan kompetensi moral untuk bertindak.
Pendidikan harus mempunyai landasan yang terang dan terarah. Landasan tersebut sebagai contoh atau pedornan dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam institusi pendidikan formal, non formal maupun informal. Yang dimaksud landasan yang terang dan terarah yaitu bahwa pendidikan harus berprinsip pada pengokohan moral-agama anak didik di samping aspek-aspek lainnya. Hal ini sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk mengantarkan anak didik semoga sanggup berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji (akhlak al-karimah).
Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) pada agenda PAUD. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia, dimulai semenjak dalam kandungan samai final hayat. Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada perubahan fisik yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan yang bersifat kualitatif berarti serangkaian perubahan progesif sebagai akhir dari proses kematangan dan pengalaman.Manusia tidak pernah statis, semenjak pembuahan hingga ajal selalu terjadi perubahan, baik fisik maupun kemampuan psikologis.[1] Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan sukses gagalnya penerima didik mencar ilmu di sekolah.
Peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan rendah atau di bawah normal sukar diharapkan berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan bahwa dengan taraf kecerdasan tinggi seseorang secara otomatis akan sukses mencar ilmu di sekolah.[2]
Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)
Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah semoga kelak sekolah sanggup mengakomodasi setiap siswa dengan banyak sekali macam pola pikirnya yang unik. Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata mempunyai banyak keterbatasan sehingga kurang sanggup meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang.
Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.[3]
Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada agenda PAUD merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan jikalau hal itu telah tertanam serta terpatri dengan baik dalam setiap insan semenjak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila lainnya dalam pancasila (Hidayat, 2007 : 7.9).
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Seiring dengan perkembangan sosial, bawah umur usia prasekolah juga mengalami perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral yaitu perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh insan dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak mempunyai moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan sahabat sebaya), anak mencar ilmu memahami perihal sikap mana yang baik, yang buruk, yang boleh dikerjakan dan tingkah laris mana yang buruk, yang dilarang dikerjakan.[4]
Selain kecerdasan yang ada, kecerdasan yang mendasari seluruh kecerdasan yaitu cerdas spiritual. Karena anak yang shaleh (cerdas spiritual), maka beliau niscaya cerdas. Sementara anak yang cerdas belum tentu shaleh.
Dalam hal keshalehan ini yang perlu dilakukan orang bau tanah yaitu bagaimana semoga anak mempunyai akhlakul karimah (akhlak mulia), sanggup dipercaya, memegang teguh prinsip kebenaran dan cerdas.
Keyakinan akan adanya sang pencipta atau Tuhan sebagai causa prima sangat membantunya dalam membentuk pribadi yang baik.
Agama sebagian besar tidak berarti bagi bawah umur meskipun mereka memperlihatkan minat dalam ibadah agama, tetapi alasannya yaitu banyaknya problem yang kepada bawah umur dijelaskan dalam rangka agama mirip kelahiran, kematian dan lain-lain, maka keingintahuan mereka perihal masalah-masalah agama menjadi besar sehingga mereka mengajukan banyak pertanyaan. Anak-anak mendapatkan balasan terhadap pertanyaan mereka tanpa ragu-ragu, sebagaimana sering dilakukan oleh anak yang lebih besar dan dewasa.
Keyakinan pada sang pencipta yaitu hal penting yang harus diberikan kepada anak. Hal penting yang perlu dipertanyakan sebagai orang bau tanah adalah; mampukah orang bau tanah melahirkan generasi baru, bawah umur kita, yang kreatif, cerdas dan mengakselerasikan intelegensinya; mempunyai intregitas spiritual dan moral sekaligus.[5]
B. Konsep-konsep Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Semua insan dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah mempunyai kemampuan bawaan yang bersifat ”laten”. Potensi bawaan ini yang memerlukan pengembangan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi cukup umur memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
- Prinsip Biologi
Secara fisik anak yang gres dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan pemberian dari orang-orang cukup umur sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum sanggup berdiri sendiri alasannya yaitu insan bukanlah makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara tepat untuk difungsikan secara maksimal. - Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang gres dilahirkan hingga menginjak usia cukup umur selalu mengharapkan pemberian dari orang tuanya. Ia sama sakali tidak berdaya untuk mengurus diriya sendiri. - Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi insan yang dibawanya semenjak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pertimbangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya gres akan berfungsi secara tepat jikalau dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun gres akan menjadi baik dan berfungsi jikalau kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan sanggup diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.[6]
Ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan anak, yaitu:
Ø Rasa Ketergantungan (sense of depende)
Manusia dilahirkan ke dunia ini mempunyai empat kebutuhan, yakni keinginan untuk proteksi (security), keinginan akan pengalaman gres (new experimence), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi semenjak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
Ø Instink keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah mempunyai beberapa instink, diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak alasannya yaitu beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengan demikian pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun. Artinya, jauh sebelum usia tersebut, nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan kepada anak semenjak usia dini. Nilai keagamaan itu sendiri bisa berarti perbuatan yang bekerjasama antara insan dengan Tuhan atau kekerabatan antar-sesama manusia.[7]
Memahami konsep keagamaan pada bawah umur berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sanggup dibagi atas: - Unreflective (tidak mendalam)
Mereka mempunyai anggapan atau mendapatkan terhadap fatwa agama dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. - Egosentris
Anak mempunyai kesadaran akan diri sendiri semenjak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. - Anthromorphis
Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di dikala orang itu berada dalam kawasan yang gelap. Anak menganggap bahwa Tuhan sanggup melihat segala perbuatannya pribadi ke rumah-rumah mereka sebagaimana layaknya orang mengintai. Pada anak usia 6 tahun, pandangan anak perihal Tuhan yaitu sebagai berikut: Tuhan mempunyai wajah mirip manusia, telinganya lebar dan besar, Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun. Konsep ketuhanan yang demikian mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing. - Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara lisan (ucapan). Mereka menghafal secara lisan kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari Amalia yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman berdasarkan tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Perkembangan agama pada anak Sangay besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Banyak orang cukup umur yang taat alasannya yaitu imbas fatwa dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kayak-kanak mereka. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat rutinitas (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak. - Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh bawah umur intinya diperoleh dari meniru. Berdoa dan shalat, misalnya, mereka laksanakan alasannya yaitu hasil melihat realitas di lingkungan, baik berupa adaptasi ataupun pengajaran yang intensif. Dalam segala hal anak merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. - Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir ada pada anak. Rasa kagum yang ada pada anak sangat berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa. Rasa kagum pada bawah umur ini belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang gres (new experince). Rasa kagum mereka sanggup disalurkan melalui cerita-cerita yang menjadikan rasa takjub pada anak-anak. Dengan demikian kompetensi dan hasil mencar ilmu yang perlu dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama yaitu kemampuan melaksanakan ibadah, menganal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan menyayangi sesama manusia.[8]
C. Strategi dan Teknik Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Ada 3 seni manajemen dalam pembentukan sikap moral pada anak usia dini, yaitu: seni manajemen latihan dan pembiasaan, Strategi acara dan bermain, dan Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
- Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan adaptasi merupakan seni manajemen yang efektif untuk membentuk sikap tertentu pada anak-anak, termasuk sikap moral. Dengan latihan dan adaptasi terbentuklah sikap yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jikalau anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih bau tanah atau orang cukup umur lainnya, maka anak mempunyai kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya. - Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan acara yang dilakukan oleh setiap anak sanggup digunakan dan dikelola untuk pengembangan sikap moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), memperlihatkan bahwa perkembangan sikap moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan memakai mainan. Setelah itu anak bermain memakai mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku. - Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini sanggup dilakukan dengan seni manajemen pembelajaran moral. Pendidikan moral sanggup disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan tabiat yang diharapkan sanggup dimanifestasikan dalam diri dan sikap seseorang mirip kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi mirip yang terjadi dalam kelas-kelas mencar ilmu formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada bawah umur usia dini dengan cirri utamanya bahagia bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, seni manajemen pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan acara motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun seni manajemen pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan problem yang bekerjasama dengan sikap baik dan buruk.
Secara umum ada banyak sekali teknik yang sanggup diterapkan untuk membuatkan moral anak usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2. tidak menghiraukan, 3. menyampaikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).[9]
Beberapa cara yang dilakukan orang bau tanah untuk mengasah kecerdasan spiritual anak yaitu sebagai berikut:
§ Memberi contoh
Anak usia dini mempunyai sifat suka menggandakan . alasannya yaitu orang bau tanah merupakan lingkungan pertama yang ditemui anak, maka ia cenderung menggandakan apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Di sinilah tugas orang bau tanah untuk menyampaikan contoh yang baik bagi anak, contohnya mengajak anak untuk ikut berdoa. Tatkala sudah waktunya shalat, ajaklah anak untuk segera mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat. Ajari shalat berjamaah dan membaca surat-surat pendek al-Qur’an dan Hadis-hadis pendek.
§ Melibatkan anak menolong orang lain.
Anak usia dini diajak untuk beranjangsana ke kawasan orang yang membutuhkan pertolongan. Anak disuruh menyerahkan sendiri pemberian kepada yang membutuhkan, dengan demikian anak akan mempunyai jiwa sosial.
§ Bercerita serial keagamaan
Bagi orang bau tanah yang mempunyai hobi bercerita, luangkan waktu sejenak untuk meninabobokan anak dengan kisah kepahlawanan atau serial keagamaan. Selain menyampaikan rasa bahagia pada anak, juga menanamkan nilai-nilai kepahlawanan atau keagamaan pada anak dan konsisten dalam mengajarkannya. Dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual pada anak dibutuhkan kesabaran, tidak semua yang kita lakukan berhasil pada dikala itu juga, adakalanya memerlukan waktu yang usang dan berulang.[10]
D. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama bawah umur itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children, ia menyampaikan bahwa perkembangan agama pada bawah umur itu melalui tiga tingkatan, yaitu:[11]
The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Pada tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada anak dalam tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan pada masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih memakai konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng yang kurang masuk akal.
The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai semenjak anak masuk Sekolah Dasar hingga hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang cukup umur lainnya. pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka sanggup melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
The Individual stage (tingkat individu)
Anak pada tingkat ini mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Ada beberapa alasan mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak usia dini, yaitu anak mulai punya minat, semua sikap anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi positif diri, sebagai individu, makhluk social dan hamba Allah. Agar minat anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara yang menyenangkan semoga anak tidak merasa terpaksa dalam melaksanakan kegiatan.[12]